Â
Menjadi Ayah dan Ibu
Hari-hari berlalu, dan aku tak lagi hanya datang malam-malam untuk menemui Kinan. Seiring waktu, aku semakin mengerti kedalaman perjuangannya, dan bagaimana ia menjalani hari demi hari dengan kekuatan yang luar biasa. Kinan kini tak hanya bagiku sosok perempuan malam, tapi juga ibu dan ayah bagi tiga anaknya yang sangat ia cintai.
Malam itu, Kinan mulai bercerita tentang kehidupannya sehari-hari, tentang bagaimana ia berusaha mengisi peran sebagai orang tua tunggal. Tugas yang biasanya terbagi dua kini ia pikul sendirian.
"Pagi hari adalah waktu tersibuk, Bang," katanya sambil tertawa kecil. "Aku harus memastikan mereka siap ke sekolah. Karena aku tak bisa selalu mengantar, jadi aku hanya bisa memandangi mereka dari jauh, berharap mereka akan baik-baik saja tanpa kehadiranku di samping mereka setiap waktu."
Kinan menceritakan bahwa setiap malam, setelah selesai bekerja, ia sering merasa khawatir tentang apa yang akan dihadapi anak-anaknya keesokan harinya. Ia sering kali bertanya dalam hati, "Apakah aku cukup kuat untuk membesarkan mereka? Apakah mereka akan baik-baik saja tanpa sosok ayah?"
Namun, ia tak pernah membiarkan keraguan itu terlihat di depan mereka. Setiap pulang ke rumah, ia menyapa dengan hangat, memeluk mereka erat, dan menenangkan diri sendiri bahwa ia akan terus bertahan.
Malam itu, ia bercerita lebih banyak tentang Ipeh, anak keduanya yang begitu rapuh. Setiap kali melihat anaknya tertidur lelap, tubuh kecil itu berbalut selimut tipis, ia sering menangis dalam diam.
"Aku selalu ingin memastikan dia hangat dan nyaman, seolah-olah dengan begitu rasa sakitnya akan sedikit berkurang," ujar Kinan sambil menatapku dengan mata berkaca-kaca.
"Kadang-kadang Ipeh bertanya padaku, "Ibu, kenapa aku harus ke rumah sakit terus? Apa aku bisa sembuh seperti kakak dan adik?" Aku tak pernah tahu bagaimana harus menjawabnya, Bang. Aku hanya bilang, "Ipeh itu anak kuat, dan Ibu selalu di sini untukmu."Â