Malam-malam berikutnya, aku mendapati diriku kembali ke tempat itu. Ada rasa penasaran yang tak terjawab dan perasaan yang membawaku untuk datang lagi.
Dunia malam yang dulu terasa asing kini menjadi bagian dari pencarianku untuk memahami sosok Kinan, perempuan yang menyimpan luka dan kegetiran dalam pandangan matanya yang tenang.
Sebagai seorang jurnalis, aku selalu haus mengungkap fakta yang kerap terpinggirkan kisah-kisah di balik tirai yang sering diabaikan oleh masyarakat, dan Kinan adalah salah satu kisah itu.
Malam itu, ketika aku datang, Kinan sudah menungguku di pojok ruangan. Kami duduk bersama, seperti dua teman lama yang tak perlu banyak basa-basi. Perlahan, ia mulai bercerita, seakan menyusuri luka-luka lamanya.
"Kau mungkin tak akan pernah benar-benar mengerti, Bang," ucapnya dengan suara rendah, hampir berbisik.
"Sejak suamiku pergi, aku belajar bahwa hidup bisa berubah dalam hitungan detik, dan ketika itu terjadi, tidak ada yang bisa menolong selain dirimu sendiri." Suaranya bergetar, tetapi ada kekuatan dalam kata-katanya.
Ia menghela napas panjang, tatapannya menerawang, seolah-olah memandang masa lalunya yang begitu dekat namun tak lagi bisa ia raih.
Kinan bercerita bagaimana awal mula kehidupannya berantakan, ketika polisi datang mengetuk pintu rumahnya di suatu hari, membawa pergi suaminya dengan tuduhan yang tak bisa ia bantah. Kala itu, dunia yang ia bangun runtuh begitu saja, meninggalkannya dalam kesunyian dan ketakutan.
"Aku tahu suamiku terlibat dalam hal seperti itu," katanya, suaranya tercekat. "Ia memang selalu kuingatkan, kadang aku marah, tapi aku tak punya daya untuk melawan," Kinan terdiam sejenak, menghapus air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. "Dia adalah cinta pertamaku, lelaki yang kupikir akan selalu ada di sisiku."
Ketika suaminya dipenjara, kehidupan Kinan berubah total. Ia yang selama ini bergantung pada penghasilan suaminya kini harus mencari nafkah sendiri, dengan tiga anak yang masih kecil dan dua adik yang ia tanggung.