Mohon tunggu...
RAHMAT AIDIL FITRA
RAHMAT AIDIL FITRA Mohon Tunggu... Peternak - Mahasiswa Peternakan Universitas Andalas

Hobi saya adalah menulis dan mereview

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Susu Import Mematikan Usaha Susu Tradisional

2 Desember 2024   08:31 Diperbarui: 2 Desember 2024   09:22 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Impor susu adalah kegiatan mendatangkan susu dari luar negeri. Indonesia mulai mengimpor susu pada tahun 1969, setelah pemerintah membuka pintu bagi investasi asing melalui UU Penanaman Modal Asing.

Sejarah mencatat Indonesia melakukan impor susu pada 1969 atau saat Presiden Soeharto berkuasa. Kala itu, impor susu terjadi karena pemerintah membuka pintu bagi investasi asing lewat UU Penanaman Modal Asing tahun 1967.

Adanya impor susu pertama dibuktikan dengan berdirinya PT Indomilk pada 3 Juli 1969. Indomilk adalah perusahaan patungan antara perusahaan Australia, Australia Dairy Produce Board, dan perusahaan susu lokal, NV Morison milik Nahar Zahiruddin Tanjung.

Menurut majalah Prisma (1982), operasional Indomilk diperoleh dari kiriman bahan baku susu Australia yang kala itu produksinya sangat melimpah. Bahan baku yang diimpor antara lain susu segar, susu bubuk, dan gula.

Sebelumnya, tulis koran Berita Industri (30 Agustus 1968), Australia Dairy Produce Board sudah lebih dulu melakukan ekspor susu dan mendirikan perusahaan patungan di Singapura, Thailand, dan Filipina.

Sedangkan di Indonesia, PT Indomilk berdiri di atas modal awal sebesar US$ 750 ribu dan pinjaman dari Australia Dairy Produce Board sebesar US$ 600 ribu. Uang sebesar itu kemudian dipakai untuk pembangunan pabrik di Jakarta Timur.

Harian Berita Industri (14 Juli 1969) menyebut, pabrik tersebut bisa memproduksi 50 juta kaleng susu kental manis dan juga susu pasteurisasi. Semuanya dijual dengan kualitas tinggi dan harga murah.

"(pendirian Indomilk) merupakan persembahan kepada masyarakat konsumen Indonesia yang memerlukan hasil peternakan susu berkualitas tinggi dengan harga yang rendah," tulis iklan Indomilk di harian Berita Industri (14 Juli 1969).

Pada 1970, produk Indomilk sudah membanjiri pasar Indonesia. Kala itu, Indomilk hanya memiliki pesaing dari merek Frisian Flag yang sudah eksis di Indonesia sejak masa kolonial.

Singkat cerita, Indomilk semakin berjaya usai pengusaha Sudono Salim ikut berinvestasi. Belakangan, kepemilikan Indomilk dikendalikan sepenuhnya di bawah bendera Salim Group.Artinya, sejak tahun 1969 keran impor susu di Indonesia terus terbuka sampai sekarang.

Dahulu Tidak Impor Susu
Hal ini jelas berbanding terbalik dengan kondisi dua abad lalu. Pada masa kolonial, industri susu di Indonesia sudah berjalan demi memenuhi permintaan susu dari kalangan Eropa. Pejabat kolonial J. Stroomberg dalam 1930 Handbook of The Netherlands East-Indies (1930) mencatat kebutuhan susu dipenuhi dari industri pemerasan susu lokal.

Biasanya para pengusaha susu memeras sapi keturunan Belanda dan Australia. Namun, tingginya permintaan susu yang tak dibarengi oleh peningkatan produksi susu membuat para pengusaha melakukan impor. Hanya saja mereka tidak impor susu melainkan impor sapi perah dari Australia yang bisa menghasilkan susu melimpah.

Mereka mendatangkan sapi perah untuk diambil susu segar dan kemudian diperjualbelikan di Tanah Air. Berkat cara ini, industri pemerahan susu di Indonesia tetap bertahan dan ada kecenderungan meningkat.

"Di akhir tahun 1928, tercatat total sapi di tempat pemerahan susu mencapai 12.756, yang 4.876 diperas dari sapi keturunan Belanda. Sedangkan sisanya, dari sapi Australia," tulis J. Stroomberg.

Indonesia mengimpor susu karena produksi susu dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan nasional. Beberapa alasan mengapa Indonesia masih perlu mengimpor susu adalah:

1)Kualitas susu: Susu peternak dalam negeri cenderung mengandung bahan-bahan yang tidak aman untuk dikonsumsi, seperti air, sugar syrup, dan bahan lainnya.

2)Populasi sapi perah: Populasi sapi perah di Indonesia masih rendah.

3)Ketergantungan bahan baku impor: Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku impor.

Untuk mengatasi tantangan ini, usaha susu tradisional perlu mencari cara untuk meningkatkan kualitas, efisiensi, dan pemasaran produk mereka. Mereka juga bisa memanfaatkan keunggulan lokal, seperti susu organik atau susu dengan ciri khas tertentu yang bisa menarik konsumen yang lebih peduli dengan produk lokal dan keberlanjutan.

Jika susu tradisional dapat meningkatkan nilai tambah, memberikan edukasi kepada konsumen, dan membangun jaringan distribusi yang lebih baik, mereka mungkin bisa bertahan dan berkembang meski menghadapi kompetisi dengan susu impor.

Peran pemerintah dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh masuknya susu impor dan untuk melindungi serta mendukung usaha susu tradisional sangat penting. Pemerintah dapat berperan dalam berbagai aspek untuk memastikan keberlangsungan dan daya saing industri susu lokal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun