Obrolan a la warung kopi soal politik memang kurang menarik diangkat ke permukaan, tapi yang pasti kejujuran lebih terasa di situ.
Seperti halnya ungkapa seorang kerabat dekat saya, Minggu (11/9), “Kalau partai politik milih kader dari partai lain itu sama halnya dengan mengungkapkan jika gak ada kader potensial dan layak dipercaya dari kalangan mereka. Bener, khan?!”
Ungkapan kerabatku ini ada benarnya juga yah, IMHO…, atau mungkin saya memang kurang tertarik dan ketinggalan perspektif politik macam itu.
“Kelemahan dari partai-partai politik yang menolak Ahok juga menurut gw lebih karena mereka gak lebih leluasa jadi maling di era Ahok,” katanya.
Lagi-lagi, saya hanya bisa menganggut.
“Kalau menurut gw sih yang paling pinter mainkan ritme sekarang PDIP. Soal Risma sih menurut gw gak bakalan dibawa ke Jakarta, karena merupakan pendulang suara di Surabaya dan Jawa Timur. Kampanye soal Risma lebih kepada kepentingan pemberitaan gratis di media nasional,” katanya lagi.
Saya kembali hanya bisa menggangguk.
“Yang gw sayangkan sih pak presiden yang agak kasian, karena jadi terjebak kepentingan politik. Mestinya sih menteri-menteri gak usah dari parpol, mendingan diisi dengan para profesional. Para politisi partai yah biarlah ngumpul di DPR saja,” katanya lagi.
Saya masih terus menyimak.
“Tapi hebatnya presiden kita sekarang ini mau kerja dan sederhana. Lihat saja, kemejanya sekarang hanya putih semua dan sederhana. Selain netral ini menunjukkan image mau kerja dengan lengan digulung,” katanya lagi.
Saya pun masih terus menyimak. Kerabat saya ini pun ingin kembali membuka suara, namun suara di pengeras suara menggemakan, “Pintu studio empat sudah dibuka, bagi penonton yang telah memiliki karcis dipersilahkan masuk.”