[caption caption="Ilustrasi: 2.bp.blogspot.com"][/caption]“Kincring, kincring,” lonceng kecil dari tembaga itu dibunyikan sebagai pertanda ada pembeli di warung kecil itu.
Kami menyebutnya warung kecil, karena memang ukurannya yang kecil dan terletak di blok bagian belakang perumahan. Tidak jauh dari rel kereta ke stasiun Nambo.
“Tunggu dulu, sebentar,” terdengar dulu suara sang nenek dari dalam rumah yang menyambung ke warung, baru beberapa detik kemudian sosoknya muncul.
Kami menyebut perempuan tua dengan postur kecil itu dengan sebutan “nenek”, dan di warung kecilnya inilah setiap pagi anak-anakku jajan makanan ringan buat bekal ke sekolah.
Sejak awal mengenalnya nenek itu memang nampak tidak terlalu sehat. Ya, namanya juga nenek-nenek, usianya pun sudah di atas 60 tahun. Yang mengagumkan, nenek itu selalu nampak gesit dan tegas. Dia nampak ingin menunjukkan tidak harus kalah dari umurnya yang menua.
Dilayaninya kami, sambil sesekali lupa dengan jumlah kembalian uang yang harus diberikan.
Meski demikian, aku selalu mengajak anak-anakku jajan di tempat ini sebelum berangkat ke sekolah menuntut ilmu.
Suatu ketika nenek pernah juga berujar pada bunda (istriku) sambil menangis, “Nenek jadi ingat dulu juga kalau membonceng anak-anak saya waktu masih kecil ke sekolah naik motor.”
Ucapan itu selalu dikenang istriku. Nenek itu bukanlah tergolong penjual yang ramah, bahkan terkesan cerewet dan agak ketus. Terlepas dari hal tersebut, yang lebih mencuat adalah ketegasan dan keteguhannya menjalani hidup.
Tidak jarang dia berjalan sendiri ke depan kompleks perumahan untuk berbelanja kebutuhan pokok, ketika pagi datang.
Nenek itu berjalan dengan gayanya yang tegas. Ia ingin menunjukkan jika dia masih bisa selalu mandiri, padahal secara ekonomi dia cukup berada. Rumahnya dibangun di atas dua petak lahan dan dia juga punya kios di pasar Citayam yang disewakan. Dua anaknya juga sudah mandiri. Di rumahnya juga ia sebenarnya punya asisten, tapi lagi-lagi si nenek tidak ingin berpangku tangan. Dia ingin selalu berusaha menangani.
Sampai ketika November 2015, penyakit diabetes mulai menyerangnya akut. Warungnya pun mulai sering tutup. Aku juga tidak memperhatikan seksama jika ternyata nenek sakit parah, dan telah menjalani operasi beberapa waktu lalu yang membuat kakinya diamputasi.
Situasi itu tentu menurutku sangat memukul hati dan semangat sang nenek. Ya, akhirnya penyakit itu memaksa ketegarannya menyerah. Saya membayangkan dia pasti sedih sekali harus terbaring terus di kasur.
Hingga hari ini 12 April 2016, sore tadi selepas waktu Ashar, pengeras suara di masjid perumahan mengumandangkan kabar duka. Si nenek telah berpulang ke pangkuan Penciptanya.
Ada rasa sedih tiba-tiba terasa tumpah di dalam hatiku. Seketika aku merasa baru saja kemarin dilayani kalau belanja di warung kecilnya, dan ternyata sudah sekitar enam bulan lalu.
Si nenek telah pulang, tapi interaksi dengannya mengajarkanku satu hal, “Apapun itu kondisinya dalam menjalani hidup tetaplah tegar dan teguh, jangan pernah cengeng jalani hidup.”
“Selamat jalan, nenek. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik di sisiNya, aamiiin.”
Bogor, 12 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H