Mohon tunggu...
Rahmat Derryawan
Rahmat Derryawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya seorang automotive enthusiast, traveller, movie goers, ayah dari 4 orang anak, suka menulis dan fotografi. Blog pribadi jbkderry.wordpress.com Twitter @jbkderry email derry.journey@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Almarhum Papa Mengenalkan Pentingnya Budaya Buku & Pendidikan

11 Februari 2016   15:08 Diperbarui: 11 Februari 2016   15:15 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber image: amerondobbins.org"]Sudah sekitar dua pekan terakhir, saya tiba-tiba jadi selalu ingat pada almarhum Papa. Tetiba ada perasaan rindu, kangen dan ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada beliau.

Hingga akhirnya jejari kembali bermain di atas tuts keyboard, membuat rangkaian diksi dari keinginan yang tertunda sejak setahun lalu, menulis tentang almarhum Papa...

Isi kepalaku tetiba melambung mengenang segala kebaikan alm. Papa. Dari beliau, saya mengenal budaya ke toko buku dan jadi akrab dengan berbagai bentuk bacaan cerita dalam bentuk buku, tabloid dan majalah.

Di bangku sekolah dasar, alm. Papa membebaskan untuk  memilih di toko buku, hingga membuatku akrab dengan tokoh Julian, Anne, Dick, George dan si anjing Timmy karya Enid Blyton.  Saya juga akhirnya mengenal dan mengoleksi seluruh karya Hilman Hariwijaya tentang anak SMA yang potongan rambutnya  a la John Taylor, personel band Duran Duran di era 1980an.

Alm. Papa juga yang langganan majalah Bobo di rumah. Majalah anak-anak yang membuatku akrab dengan kisah Si Bona Gajah Kecil Berbelai Panjang, Pak Janggut dengan buntelan ajaib, hingga kisah si Sirik, Oki dan Juwita. Tentang majalah Bobo, saya paling senang kalau ada edisi yang ada hadiah sisipan seperti penggaris dan lain-lain. “Terima kasih, Papa.”

Alm. Papa yang juga bersedia membelikanku majalah Anita Cemerlang di jaman SD dan SMP. Pada setiap edisi majalah itu hampir semua kisah cerpennya saya baca. Hanya saja yang paling tidak suka kalau ada cerita bersambung, malas membacanya (khawatir mati penasaran hahaha…). Mungkin inilah media yang paling banyak memberiku literasi dalam menulis, dan tanpa disadari merasakan indahya memadukan diksi.

Sejak saat itu, saya jadi suka membaca, walaupun cenderung bukan buku pelajaran. Di SMP, saya jadi suka baca kisah koboi rekaan dari kartunis asal Belgia yang menunggangi kuda tercerdas di dunia Jolly Jumper, serta saya juga suka baca komik silat Panji Wungu (karya Panji Darma).

Di masa SMA di era awal 1990an, alm. Papaku membelikanku 3 majalah silat sekaligus; Tapak Sakti, Tiger Wong dan Pukulan Geledek. Majalah yang membuatku tambah semangat menggambar para tokoh silat yang berotot dan punya ilmu silat tingkat tinggi a la tokoh Sembilan Benua dengan jurus Bentakan Halilintar Budha.

Sejak SD saya memang suka menggambar sampai jaman kuliah di Tamalanrea, untuk mengusir kebosanan mendengar penjelasan mata pelajaran…:)  Hobi yang semakin terasah, karena bantuan Papa yang kerap membelikanku kertas kosong dan alat-alat menggambar.

Meski tidak merokok, alm, Papa kerap melemparkan sebungkus Marlboro merah atau Dji Sam Soe untukku setiap hari pas jaman SMA. Bahkan terkadang dua bungkus. Saya tahu sekarang, hal ini semata-mata beliau lakukan demi rasa sayang pada putra satu-satunya.

Saya merokok aktif dari tahun 1991, sebelum akhirnya berhenti setelah 12 tahun kemudian pada tahun 2003.

Bukan hanya buku dan rokok jadi tanda cinta dan sayang Papaku. Beliau juga senantiasa berusaha memasukkan anak-anaknya ke sekolah terbaik. Karena Papa, saya bisa sekolah di SD Mangkura 1 dan SMA 2 Makassar. Adikku Antie disekolahkannya di TK Merpati Pos, SMP 3 dan SMA 2 juga. Pokoknya kalau urusan pendidikan, saya tahu Papa ingin kami anak-anaknya dapat yang terbaik.  Meski di sisi lain, mungkin Papa juga tahu (mungkin) jika dirinya bukanlah role model, tapi “jembatan” yang beliau bangun untuk anaknya sangat luar biasa.

Kini, alm. Papa sudah pergi. Sayangnya, setelah beliau pergi, saya baru semakin menyadari betapa sayangnya dulu beliau padaku. Butuh 40 tahun untuk meruntuhkan standar perspektifku, jika rasa cinta dan kasih sayang memang tidak harus selalu terbahasakan secara verbal.

“Papa, saya semakin rindu dan kangen. Terima kasih atas semua kebaikan Papa dulu. Semoga Allah SWT memberikan Papa tempat terbaik di sisiNya, aamiin ya rabbal alamin.”

Andai waktu dapat berulang sebentar saja, saya ingin memelukmu erat, erat sekali (meski cukup sekali saja) dan bisa berucap, “Terima kasih, terima kasih, Papa.”  #FeelingSad

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun