Oleh : Rahmat Hariadi
Berpikir Normatif adalah berfikir sesuai dengan pedoman yang dimilikinya. Dalam konteks agama berfikir normative bisa mengarah pada teks, kajian fiqh, dan pernyataan Ulama  (dalil Naqli) yaitu berfikir yang mengakibatkan kehidupan seseorang bergantung dari pesan teks yang dibacanya (menuhankan teks).Â
Dewasa ini bisa berakibat pada kehidupan seseorang yang monoton, lurus, dan sulit menerima pernyataan dari orang lain yang berbeda pendapat dengannya, inilah yang disebut sebagai bertindak linear.
Berfikir Normatif Factor munculnya radikalisme. Masyarakat yang hanya meyakini kebenaran yang bersifat tunggal dan hanya dimiliki oleh kelompoknya saja, menjadikanya kelompok yang sangat berbahaya bagi yang lain, bahkan Negara itu sendiri. Mereka bisa membunuh orang lain dengan dalih mereka keluar dari ajaran dan darah mereka HALAL.Â
Sangat berbahaya apabila mereka tidak ditindak oleh pihak yang berwenang. Awalnya bisa saja radikal dalam tataran pemikiran saja, jika dibiarkan  mereka akan menjadi pemangsa agama, membunuh umat, dan bunuh diri dengan semangat jihad.Â
Sungguh ironis melihat fenomena yang terjadi, melihat agama hadir untuk membawa sebuah kedamaian dan keadilan, namun yang terlihat kepermukaan adalah kekerasan dan ketidakprikemanusiaan. Secara kuantitas mereka sedikit, namun karena dampak yang mereka lakukan sangatlah besar. Menghilangkan nyawa orang lain, hak, dan menghilangkan kebahagiaan orang-orang yang berada disekitar mereka.
Kehilangan status social, banyak peristiwa  terjadi di masyarakat, Indonesia Khususnya dalam kehidupan masyarakat mereka mereka cenderung tertutup terhadap kehidupan masyarakat, namun bukan berarti mereka tidak melakukan kegiatan-kegiatan ibadah seperti ke masjid dan menghadiri ta'lim. Mereka tidak bisa disangka-sangka sebab mereka menghilangkan nyawa orang lain dengan modal internet.
Sifat esklusif mereka (pemahaman yang meyakini bahwa kebenaran itu banyak namun keselamatan hanya satu) membuat aparat dan pemerintah repot, bahkan secara khusus dibuatkan peraturan khusus untuk mencegah terjadinya sifat esklusif ini.Â
Kuantitas masyarakat yang Inklusif (pemahaman yang meyakini bahwa kebenaran itu banyak dan keselamatan lebih dari satu) masih lebih banyak dari orang yang esklusif, dengan kata lain, dampak dari  orang-orang inklusif menjadikan Negara aman, namun apabila di zoom, maka  terdapat orang-orang esklusif yang  berpotensi membahayakan berbagai aspek kehidupan masyarakat.Â
Lalu, apa yang harus dilakukan  agar peristiwa-peristiwa itu  bisa dicegah? Berdasarkan data yang telah dianalisis, yang paling berperan penting dalam hal ini adalah pemerintah yang mengambil tindakan (keberadaan pemerintah dalam suatu kelompok manusia bersifat Niscaya, bukan suatu keharusan, kelompok yang dimaksud  tidak harus dalam bentuk Negara, namun dalam skala yang lebih kecil seperti desan dan lainnya).Â
Apakah pemerintah mampu menempatkan pencegahan sebagai master planning (dalam istilah organisasi terdapat istilah master planning, master planning kadang menjadi indikator berhasil atau tidaknya suatu pemerintahan yang tercantum pada visi misi dan program-programnya). Tentu segala sesuatu memiliki dampak, apabila hal yang berbau agama menjadi prioritas  pemerintah, apakah Negara mampu keluar dari keterkungkungan?
Disitulah kekhawatirannya apabila  focus kepada hal yang bersifat  teologis, bukan pada filofis ilmu pengetahuan, maka Negara akan sulit untuk bersaing dengan bangsa yang sudah maju.Â
Urgensi  pemerintah untuk memiliki seorang tangan kanan yang mampu mengatasi itu semua sangatlah besar, selain menjadi bagian dari pemerintah tangan kanan tersebut juga harus orang yang bisa dipercaya dalam menangani objek yang terkait, percuma dilabeli sebagai pemerintah namun moral seperti objek perintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H