Mohon tunggu...
Rahmat Ramdhani
Rahmat Ramdhani Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Perkenalkan nama saya Rahmat Ramdhani mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam fakultas Tarbiyah di STAI Al-Hamidiyah Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

3 Cara Menjadi Guru Kekinian Era Gen Z

31 Maret 2023   15:36 Diperbarui: 31 Maret 2023   15:46 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mungkin anda pernah mendengar segelintir ucapan atau curhatan guru-guru yang sekedar meluapkan kegelisahan mereka dengan kondisi siswa yang sedang mereka hadapi di sekolah. 

Jelas ini tidak salah karena faktanya kita memang banyak menemui betapa berbedanya siswa yang kita hadapi saat ini dengan generasi sebelumnya. Seorang pakar terkenal bernama Graeme Codrington menggagas tentang Generation Theory. 

Generation Theory atau Teori Generasi adalah sebuah teori yang mempelajari tentang generasi-generasi manusia yang dibedakan berdasarkan tahun kelahirannya. 

Dalam teori tersebut, Graeme Codrington menjelaskan tentang karakter generasi-generasi yang bisa dipelajari dan dipahami sehingga kita bisa membedakan antara generasi yang lalu dan generasi sekarang. 

Tiga cara yang dapat dipakai agar menjadi guru kekinian di era gen Z yaitu:

A. Mengenal Gen Z dan Generasi Alpha

1. Baby Boomer

Generasi pertama sering disebut sebagai Baby Boomer. Generasi ini lahir pada rentang tahun 1946-1965. Mereka memiliki jasa yang cukup besar karena hidup di masa perang dunia kedua dan menjadi guru dengan fasilitas seadanya.

Kiprah mereka begitu besar melahirkan generasi pejuang kemerdekaan yang tangguh dan pantang menyerah. Kondisi pendidikan pada generasi ini cukup sulit, karena perang masih terjadi dimana-mana. Namun, dibalik keterbatasan tersebut generasi ini telah menjadi guru bangsa yang tetap menginspirasi kita hingga saat ini.

2. Generasi X

Generasi kedua ini sering disebut generasi X. Mereka yang masuk dalam golongan ini lahir pada rentang tahun 1965-1980. Generasi ini belum menikmati teknologi. 

Bahkan dalam kegiatan belajar-mengajar, kebanyakan guru masih menggunakan alat-alat peraga seadanya. Namun, mereka sangat berdedikasi melahirkan manusia-manusia pada generasi selanjutnya.

3. Generasi Y

Generasi ketiga ini sering disebut generasi Y atau generasi Milenial yaitu generasi yang lahir di awal-awal teknologi belum pesat seperti sekarang. Modernisasi digadang-gadang menjadi salah satu penyebab atas penyebutan generasi Y atau generasi Milenial. 

Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenai rentang tahun lahirnya generasi Y. William Straus dan Neil Howe berpendapat bahwa generasi Y atau generasi Milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1981-1993. Sedangkan menurut World Economic Forum (WEF), generasi Y atau generasi Milenial adalah generasi yang lahir pada tahun 1990-2000.

4. Generasi Z

Generasi selanjutnya sering disebut sebagai generasi Z atau gen Z. Generasi ini lahir pada rentang tahun 1995-2012. Generasi ini juga dijuluki sebagai I generation atau generasi internet. 

Pada umumnya, mereka memiliki banyak kesamaan dengan generasi sebelumnya. Namun, yang membedakan adalah kemampuannya dalam melakukan berbagai pekerjaan dalam satu waktu secara bersamaan seperti contoh mereka bisa chatting Whatsapp di gadget sambil browsing tugas sekaligus mendengarkan musik menggunakan headphone. 

Hal ini membuat mereka mengenal teknologi-teknologi terbaru dan piawai menggunakan gadget canggih yang secara masif mempengaruhi mereka dalam berinteraksi di lingkungan sosial. Generasi inilah yang sedang kita hadapi di sekolah.

5. Generasi Alpha

Masih ada generasi satu lagi yaitu generasi alpha. Generasi ini lahir pada rentang tahun 2013-2025. Generasi ini belum banyak dibahas oleh para ahli karena kehadirannya belum memiliki fenomena yang krusial untuk dibahas.

Pembahasan kali ini berfokus pada Gen Z dan Generasi Alpha yang saat ini menjadi trending topic di kalangan guru. Siswa zaman dahulu adalah generasi yang belum merasakan ledakan internet. Mereka hanya memainkan permainan tradisional yang banyak dirindukan hingga saat ini. 

Sedangkan siswa zaman sekarang atau lebih sering disebutnya gen Z adalah generasi yang hidup di era perkembangan teknologi yang begitu pesat sehingga mereka lebih sibuk menyendiri ditemani oleh gadget daripada mereka harus sibuk di kehidupan sosial. Tentu saja menjadi seorang guru untuk gen Z akan terasa berbeda.

Sesuatu yang mustahil terjadi apabila kita menjadikan gen Z seperti siswa-siswa pada zaman dahulu. Sebab, mereka hidup di zaman yang berbeda. Kita harus menerima keadaan ini. 

Alangkah indahnya jika kita tidak mengeluhkan kondisi siswa yang sedang kita hadapi saat ini. Mari menerima mereka apa adanya dengan tangan terbuka. Jika bisa memilih, mereka pun pasti ingin dilahirkan pada generasi sebelumnya. 

Mengapa demikian? Sebab jika mereka terlahir pada generasi sebelumnya, mereka akan mempunyai banyak kenangan hidup di saat semuanya serba natural bukan serba instan. 

Namun kenyataannya, mereka tidak mempunyai pilihan. Mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah generasi yang hidup di era ledakan internet, teknologi berkembang pesat dan modernisasi.

Apabila kita mempelajari lebih lanjut tentang gen Z dan generasi Alpha, maka terdapat perbedaan dan persamaan diantara keduanya. Adapun perbedaan antara gen Z dan generasi Alpha adalah sebagai yaitu generasi gen Z mempunyai karakter yang menyukai teknologi,  fleksibel, lebih cerdas, dan toleran pada perbedaan budaya. 

Sedangkan generasi Alpha cenderung lebih cerdas dan lebih cepat dapat memahami situasi serta bisa mengenali suatu hal dengan baik. Dan mampu berpikir lebih kritis dibandingkan generasi sebelumnya. 

Persamaan antara Gen Z dan generasi Alpha antara lain mereka memiliki karakter kritis, kreatif, terbuka dan bebas, sangat peduli dengan teknologi serta menyukai kegiatan interaksi dialogis.

B. Guru yang Expert 

Ada satu konsekuensi yang akan kita dapatkan ketika kita memilih berkarier sebagai seorang guru, yakni harus menjadi guru yang expert. Stuart E. Dreyfus dan Hubert L. Dreyfus dalam teori Dreyfus Model menyatakan bahwa penguasaan kompetensi dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu:

Pertama, level novice (pemula). Di level ini, seorang praktisi akan mengikuti teknik-teknik yang mereka kuasai secara kaku. Ia masih harus berpikir untuk mengeksekusi keterampilannya dengan baik. 

Kedua, level advanced beginner (pemula tingkat lanjut). Di level ini, seorang praktisi mulai memahami konteks kapan sebuah teknik efektif dilakukan dan kapan teknik tidak efektif dilakukan. Ia secara sadar sudah mampu menganalisis teknik yang dapat digunakan. 

Ketiga, level competent (mampu). Di level ini, seorang praktisi mulai memahami prinsip-prinsip atau kaidah di balik teknik yang mereka gunakan sehingga mereka lebih fleksibel dalam menggunakan teknik-teknik yang ia kuasai. Pada level ini, kita sudah sangat mengetahui seluk-beluk teknik yang akan kita gunakan sehingga kita sudah bisa memprediksi kondisi yang akan terjadi ketika melakukan teknik tersebut. 

Keempat, level proficient (cakap). Di level ini, intuisi seorang praktisi mulai terbentuk. Ia mulai memahami pola-pola yang terkait dengan keterampilannya. Pada tahap ini kita telah memiliki kemampuan di atas rata-rata bukan saja tentang teori yang paten, tetapi juga tentang penerapannya. yang tepat untuk permasalahan yang dialaminya. Jika sudah melakukan hal tersebut, maka level kita saat ini berada di level cakap. 

Kelima, level expertise (ahli). Inilah level tertinggi, dimana intuisi seorang praktisi sudah sangat tajam sehingga mampu mengeksekusi skillnya tanpa harus berpikir. Ia sudah masuk dalam tahap unconscious competence. Tahap ini terjadi saat kita sering melakukan penelitian dalam setiap masalah yang dihadapinya di kelas. Pengalaman yang banyak membuat intuisi akan segera menemukan solusi dari apa yang pernah ia alami sebelumnya. Seorang guru yang expert tidak perlu lagi membuka teori terlebih dahulu untuk menemukan solusi, tetapi bukan berarti mereka tidak belajar. Sejatinya, ilmu mereka ada dalam pikirannya. 

C. Merancang Kreatifitas Siswa

Sebagai guru tentu saja kita dituntut untuk merancang program keratifitas bukan hanya di dalam kelas tetapi juga program yang berdampak pada seluruh stakeholder sekolah. Cobalah melakukan langkah demi langkah hingga kita semakin mahir membuat program kreatifitas di sekolah. Carolyn Edwards dan Kay Springate dalam artikelnya yang berjudul The Lion Comes Out of The Stone: Helping Young Children Achieve Their Creative Potential memberikan beberapa cara yang dapat diterapkan untuk membuat program kreatifitas siswa diantaranya:

 Pertama, berikan kesempatan dan waktu yang luang kepada siswa untuk mengeksplorasi dan melakukan pekerjaan terbaiknya serta jangan mengintervensi pada saat mereka sedang termotivasi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya secara produktif. Cara ini menunjukkan bahwa guru harus lebih menonjolkan peran sebagai fasilitator dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan permasalahan sendiri. Contohnya guru memberikan sebuah studi kasus tentang pemberitaan pembunuhan yang dilakukan oleh seorang polisi berpangkat tinggi. Siswa diarahkan untuk mencari solusi permasalahan dari studi kasus tersebut mulai dari aspek Al-Qur'an, aspek Hadits, dan aspek hukum negara. 

Kedua, ciptakan lingkungan sekolah yang menarik dan mengasyikkan. Mendesain lingkungan sekolah yang menyenangkan bisa menambah kreatifitas siswa. Contohnya dengan adanya mading (majalah dinding) sekolah, siswa bisa mengasah dan mengembangkan kreatifitasnya untuk membuat sebuah karya baik berbentuk tulisan atau gambar yang nantinya hasil dari karya siswa akan diletakkan pada mading tersebut. 

Ketiga, sediakan berbagai bahan dan sumber belajar yang menarik dan bermanfaat bagi siswa. Contohnya guru membuat pojok membaca di kelas. Hal ini memungkinkan siswa untuk selalu mengupgrade pengetahuan dan informasi guna menambah khazanah pemikiran mereka. Siswa yang memiliki intensitas waktu membaca yang banyak akan memiliki pengetahuan yang luas dibandingkan siswa yang hanya menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Dan siswa yang rutin membaca buku pemikirannya jauh lebih kritis saat bertanya kepada guru. 

Keempat, ciptakan iklim kelas yang kritis. Kelas seperti ini akan mendorong siswa untuk mampu menyampaikan pendapatnya. Contohnya guru membuka sesi tanya-jawab dan diskusi pada saat pembelajaran berlangsung. Doronglah siswa agar berargumen berdasarkan fakta yang ada bukan berdasarkan perasaan dan asumsi terhadap suatu permasalahan.

Nah, Poin penting yang perlu dipahami dalam menjadi guru kekinian Era Gen Z; kenali siswa berdasarkan keunikan dan gaya belajar, menjadi guru yang expert dengan mengaplikasikan berbagai macam metode dan pendekatan serta kemajuan teknologi, serta merancang pembelajaran agar tercipta kreativitas siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun