Hari ini berjalanlah satu perjalanan yang sudah lima bulan ini kurencanakan.
Setelah hampir setengah hari perjalanan dari Jakarta, akhirnya aku tiba di perbatasan kota tempat asal-usulku dulunya.
Gapura kotaku sekarang tampak lebih sombong ditimbang delapan tahun lalu saat aku pergi, walau jalan utamanya yang beraspal lurus tak begitu landai seperti kota di sebelahnya.
Kupelankan laju mobil jeepku, yang membawa serta istri dan dua putra-putriku yang sepertinya sedang tidur kelelahan.
Di antara jalanan yang relatif sepi dibanding kota perantauanku yang selalu macet, aku jadi terkenang masa lalu.
Teringat kembali saat aku dan kawanku, Setiawan, pergi ke kota ini dengan satu sepeda onthel yang dikayuh bergantian oleh kami berdua.
Kami membawa botol air mineral yang diisi air dari kendihitam warisan keluarga.
Kendi milik nenekku ini seperti punya kasiat sendiri, karena air yang sudah dimasukkan ke dalam selalu berasa lebih enak dan segar, benar-benar lebih nikmat dari es campur atau es buah manapun.
Kami bergantian meminumnya di saat bertukar posisi dari depan ke boncengan belakang, hingga saat sampai di kota yang jaraknya sekitar lima kilometer itu air minum kami hanya bersisa seteguk.
Kami yang tidak membawa uang, hanya berputar-putar saja keliling kota sambil berhaus-haus ria.
Meskipun samar-samar, jejak-jejak suasana masa kecilku masihlah tercium segar, walau hanya seperti bau sekuntum melati kecil di kejauhan.
Aku berbelok perlahan menuju gang kecil yang terselip di antara warung-warung yang sepertinya dulu belum ada.
Setiawan kawanku.
Entah sekarang bagaimana kabarnya, sudah lama tak berjumpa apakah ia masihlah ia yang dulu, yang seperti namanya selalu setia kawan denganku, kawan karibnya semenjak lahir yang kebetulan lahir di penanggalan Jawa yang sama, yang konon ceritanya, yang paling pembawa sial kata orang-orang tua dahulu.
“He hihihi,” aku tertawa kecil lalu menoleh kembali ke belakang, memeriksa keluarga kecilku yang tengah terlelap, takutnya mereka pikir aku gila karena senyum-senyum sendiri.
Jalan mulai beranjak bergelombang, rumah-rumah beranjak menjarang, digantikan sawah-sawah dengan Padi yang hampir kesemuanya sudah ditebas hingga kehilangan biji-biji berasnya.
“Baru panen?” gumamku.
Teringatku, di sekitar sisi selatan dari sini, kira-kira satu kilometer jauhnya, ada kebun Mangga milik penduduk desa sebelahku.
“Hihihihi,” aku ingat pernah jadi maling Mangga di sana bareng Setiawan.
Waktu itu kami sedang melakukan petualangan untuk mencari sarang Burung, karena setengah hari berjalan masih belum ketemu satu pun, kami lalu akhirnya memutuskan mengalihkan target.
Dia bilang ada kebun yang ditanami banyak buah-buahan di sana, mulai dari Jambu, Nangka, dan Mangga, liurku hampir menetes mendengar nama Mangga yang merupakan buah favoritku.
Sesampainya di sana, di saat kami sedang melahap Mangga Muda, kami ketahuan oleh pemilik kebun dan dikejar-kejar sambil diacung-acungi arit, berdua kami berlari hingga berjungkir balik di tanah sawah yang masih lancip karena habis dibajak dan dipacul.
Terus berlari dengan penuh ketakutan tanpa sekali pun menoleh, sampai akhirnya kembali ke kampung yang jaraknya sekitar tiga kilometer.
Baru kami sadari kemudian rupanya petani itu sebenarnya hanya sebentar saja mengejar kami, kami berdua saja yang begitu paniknya terus berlari seperti kesetanan, hingga berkali-kali bergulung-gulung tanpa merasakan kulit kami yang penuh luka gores.
Setibanya di kampung, tiba-tiba badanku dan Setiawan berasa nyeri-nyeri semua, hingga kami kemudian berendam di kolam di belakang Masjid yang konon menurut kepercayaan kami berdua saja berkasiat menyembuhkan sakit.
Kami berendam sambil bermain membuat rakit mainan dari Sulur Eceng Gondok yang kami tata dan gabungkan dengan ditancapi potongan sapu lidi, ciprat-cipratan air, bergumulan di kolam, dan berloncatan dari pinggiran kolam yang tinggi, hingga diomeli Marbot Masjid yang seperti biasanya selalu galak.
Asyik sekali hari-hari itu, semua berlalu dengan tanpa disadari, waktu memanglah mainan yang begitu mudahnya habis, berhamburan bagai pasir yang tak mungkin bisa dipungut lagi.
Jalan mulai berkelok-kelok, naik turun, dan aspal gelapnya sudah mulai berlubang tak rata di berbagai sisi, kulihat kanan kiri jalan tak lagi ada Pohon Kenari yang dahulu memayungi hingga satu kilometer.
Terus melaju dan berbelok beberapa kali melintasi kampung-kampung kecil yang namanya sudah lupa-lupa ingat di kepalaku.
Satu saja desa yang kuingat pasti yaitu Desa Randangan, di desa ini dahulu aku dan Setiawan bersekolah di S.D.N INPRES.
Aku ingat banyak sekali kenangan masa sekolah dasarku di sini, yang paling kuingat sepertinya banyak permainan dengan peraturan antik yang kami mainkan dahulu.
Misalnya permainan Bola Kasti yang jika bolanya dipukul terlalu keras hingga keluar lapangan malah akan dianggap kalah, sebabnya karena sekolah kami yang di kelilingi Hutan Bambu akan membuat kesulitan saat mencari bolanya jika terlempar terlalu jauh, apalagi kalau masuk ke atas genteng, bisa makin rumit jadinya.
“Hehehe,” banyak juga permainan-permainan baru yang aku ciptakan, juga permainan-permainan lama yang kutambahi atau kurubah aturannya supaya lebih asyik saat dimainkan.
Pernah juga kami berjualan Semangka yang kami beli dari nenek-nenek dari Desa Randangan, aku dapat untung lebih banyak dari Setiawan karena aku berhasil bohongin dia dulu, “Hihihi.”
Tapi sekarang sekolah yang penuh kenangan itu sudah tak ada lagi.
Karena jumlah murid yang semakin menurun dari tahun ke tahun, tepat di masa aku SMP dulu gedung sekolah dasar kami dirobohkan dan dialih fungsikan menjadi Balai Desa.
Semuanya hilang, dari lapangan beceknya, kursi dan meja yang bertumpukan kacau di salah satu ruang kelas yang tak terpakai, hingga Tanaman Rawe di belakang sekolah yang gatalnya sudah menyiksa beberapa temanku hingga seharian.
Selintas lalu kulihat Balai Desa itu di sebelah kanan jalan yang kulintasi.
“Zaman memang tak mungkin bisa direm,” ucapku di dalam benak.
Mobil semakin menderu di jalanan yang menurun, kewaspadaan semakin kutingkatkan karena jalan semakin berliku dan bergeronjal.
Di sebalah kiri jalan, berbaris rapi tambak-tambak Ikan Mujaer dan Udang, sementara sebelah kanan jalan menghijau ditanami Jagung dan Ketela Pohon yang sepertinya sebulan lagi baru akan dipanen.
Lalu dadaku bergidik.
Sejak dahulu setiap kali barada di sekitar sini, aku selalu ketakutan dengan tanpa alasan yang jelas, mungkin karena teman-teman di kampungku sering bercerita cerita-cerita seram tentang telaga di ujung belokan sana yang katanya angker.
Aku ingat.
Ya aku masih ingat peristiwa itu.
Dulu waktu aku berjalan ke desa seberang pagi-pagi sekali, aku pernah melihat sesosok Komodo yang keluar dari sisi lain jalan yang kulewati, tepat di seberang telaga di samping kananku, keluar dari air perlahan lalu menoleh ke arahku dengan lidah terjulur, aku pun langsung lari terbirit-birit waktu itu.
Entah apa yang kulihat kala itu, yang jelas peristiwa itu terjadi saat aku masih kecil.
Entah apakah itu Siluman Komodo, ataukah hanya Biawak yang memang ada banyak di sekitar sini, yang kuperbesar ukurannya menggunakan imajinasi liarku yang masih murni kala itu, entahlah hingga kini aku masih percaya tak percaya.
Jalur kembali menaik dan lumayan curam, di saat tiba di ujung atasnya aku pun langsung tersentak kaget.
Tampak di hadapanku, Telaga Siluman Komodoku telah mengering amat parah.
Tempat yang biasa dijadikan sumber air minum lima desa dari empat penjuru arah, air jernihnya yang berkilauan alami mengering hingga hanya menyisahkan kubangan kecil yang mungkin hanya cukup dipakai tempat minum Kambing.
Aku sungguh tak menyangka, sejauh yang aku tahu telaga ini tidak pernah mengering selama aku masih tinggal di sini, bahkan menurut nenekku telaga ini tidak pernah sekali pun mengering sejak jaman nenek moyang dahulu.
Kemudian kulihat sekeliling, pemandangan tampak kontras kurasa dengan masa kecilku dahulu, tanah-tanah kuning kecoklatan membentang di hadapan mataku, kuningnya seperti berpasir yang mirip gurun walaupun padatnya masihlah sepadat tanah.
Pohon-pohon terlihat satu dua saat kuterawang jauh, sawah-sawah merekah, pecah dan mengering, bahkan semak-semak pun tak terlihat sama sekali.
“Kenapa bisa begini?” gumamku dengan hati terpukul.
Dari kejauhan pandangan akhirnya kampungku mulai terlihat, kelihatannya lebih banyak rumah dibanding terakhir kali dahulu kulihat.
Jalan yang kami lewati melewati samping kanan desa, sehingga bagian belakang desa bisa nampak dari kejauhan pandangan.
Bagian belakangnya yang dahulu dikerumuni Pohon-Pohon Bambu yang menjulang mengelilingi belakang desa, kini telah berganti rumah-rumah sederhana yang berjejer dengan tak rapi.
Jalanan semakin bergeronjal tak menentu hingga membuat istri dan anak perempuanku terbangun dengan raut muka tak nyaman.
“HOAHM, sudah sampai ya yah?” istriku pun bertanya sambil menutupi bibir penguapnya.
“Hampir bu.”
Di sekeliling kami yang tampak hanya tanah rawan, padahal dahulunya terbentang sawah-sawah yang menghijau teramat subur.
Kuingat dulu, aku dan Setiawan sering berkeliaran di sini, mencari Belalang dan Jangkrik untuk pakan Burung juga Ikan Arwana peliharaannya.
Berkeliling hingga sangat jauh, walau Serangga yang kami dapat sudah cukup terlalu banyak untuk pakan empat hari dari peliharaan-peliharaan Setiawan itu.
Sawah-sawah itu juga memiliki kisah yang lain.
Karena di kampung kami dahulu tak ada yang memiliki toilet, kami semua penduduk desa jadi biasa buang hajat di tengah sawah jika selesai musim panen.
Hanya jika musim tanam saja tiba-tiba banyak kakus-kakus sederhana yang dibuat, atau seringnya kami berak di sekitar rindangnya Pohon Bambu yang lebat di belakang desa.
Jika sedang main di tengah sawah bersama kawanku yang satu itu, kami berdua sangat sering sekali menemukan dan memetik Buah Semangka yang tumbuh liar hasil tanam tak sengaja dari kami-kami yang buang air besar sembarangan ini.
“Hhmm,” dan kini rumput-rumput perusuh pun malas tumbuh di tanah kami, mungkin juga kami harus menyuburkan tanah kering ini dengan pupuk alami buah karya kami seperti dulu.
“Tempatnya kok beda sekali dengan yang diceritakan ayah?” istriku sekali lagi bertanya.
“Ayah sendiri juga kaget bu,” jawabku lesu.
“Itu yang di sana apa ya yah?” giliran anakku kini yang bertanya dengan matanya yang masih sedikit mengatup.
Wajah putriku memandang jauh ke arah kanan depan jendela mobil, mengarah ke suatu tempat yang juga penuh kenanganku dahulu.
Kuikuti arah pandangnya dan lalu kudapati sesuatu yang membuatku bertanya-tanya.
Seingatku itu adalah kawasan kawah pertambangan yang dulunya adalah hutan kota, empat tahun sebelum aku meninggalkan desa, di kawasan itu telah diadakan riset pencarian Minyak atau entah benda tambang yang entah apa.
Dulu sering ada bunyi ledakan Dinamit di waktu sore setelah Ashar di kawasan yang dahulunya merupakan yang terhijau di kota kami ini.
Kulihat ada satu orang di pinggiran area kawah yang sepertinya telah dikorek habis semua mineral buminya hingga kemili terkecil.
Orang itu tengah mencangkul di tanah yang kosong dan terlihat rawan di sekitar gedung rusak yang dulunya adalah kantor perusahaan pertambangan, di sekitarnya ada empat ekor Kambing dan beberapa pohon yang entah apa, tapi yang jelas tak berbuah buah yang bisa dimakan Manusia.
Dari jauh ia terlihat hanya seperti bayangan kurus yang malang, mencangkuli tanah yang terbayang seperti mendidih dan tak mungkin bisa dibuahi dengan bibit apapun.
Aku memalingkan wajahku ke arah kemudi karena tak tega, tatapku setengah menunduk tanpa menjawab pertanyaan putriku yang sepertinya makin heran.
Dulunya di tempat yang sekarang serupa kawah berlubang yang mirip Luka Bumi itu adalah tempat bermainku bersama Setiawan.
Dia memang suka kehijauan, makanya ia sering mengajakku bermain di hutan, memanjati berbagai pohon yang beraneka macamnya.
Di sana ada rawa, yang konon ada Buayanya, jadi kami tak pernah berani terlalu dekat menyusuri air, walaupun selama aku tinggal di sini tak pernah ada sekali pun kasus serangan Buaya yang aku tahu.
Kami biasanya suka memanjati Pohon Asem, memetiki buahnya dan juga daun-daun mudanya yang biasa kami jadikan manisan asam manis jika kembali pulang ke rumah.
Pernah kami terjebak di atas pohon, karena di badan pohon bagian bawah, ada sekumpulan Tokek yang menempel dan seperti tengah menghadang kami turun.
Kami berdua sebenarnya agak paranoid dengan Tokek, itu karena kami sering dengar dari anak-anak yang lebih besar, kalau gigitan Tokek itu tak akan bisa dilepas, bahkan jika kepalanya dipotong, kepala itu akan tetap masih menggigit kita, begitu katanya.
Karena percaya cerita itu, kami jadi kebingungan di atas pohon, akhirnya kami pun nekat meloncat terjun ke bawah, berjungkir balik, lalu lari berloncatan menjauhi Si Tokek sialan.
Laju mobil perlahan aku pelankan, aku sudah sampai di kampungku, berbelok memasuki gerbangnya yang catnya lebih luntur dari masa dulu, kubayar patok jalan yang ternyata dijaga oleh kawan S.D ku Marjito.
“HEY, lama kau tidak pulang mat, bagaimana kabar?” ucapnya ramah.
“Baik To, kamu sendiri anaknya berapa sekarang?”
“HAHAHA, baru tiga,” kami pun berbincang hangat selama, ”hmm,” mungkin tiga menit, kemudian aku pamit dan kembali melajukan mobilku lagi.
Di dalam desa banyak sekali anak-anak kecil berkeliaran, badan mereka kurus-kurus tak terawat, muka-muka asing penghuni kampungku yang tak pernah aku kenal, mungkin anak-anak kawan-kawanku, atau mungkin anak-anak dari penghuni baru desa ini.
Jalan di depan terbelah dua, dan aku memilih jalur kiri untuk menggelindingkan roda, tak lebih satu menit kemudian aku telah sampai di rumah nenekku, rumah yang tampak sederhana dan sepertinya tak berubah sedikit pun semenjak dahulu, kecuali kandang Kelinci asing yang di kecilku dulu belum ada.
Aku dan keluarga kecilku keluar satu persatu dari pintu mobil, lalu disambut seluruh keluarga besarku yang tempat-tempat tinggalnya berbaris sekitar enam petak di sisi kanan kiri jalan di sekitar rumah nenekku.
Lalu kami semua saling sapa dan bartanya kabar masing-masing, suasana hangat yang sepintas asing karena lama sekali tak kurasakan lagi, tapi aku beradaptasi cepat dan dengan mudah mengembalikan sisi diriku yang kampungan dahulu.
Aku dan keluargaku dibawa masuk oleh nenekku. nenekku yang hebat, yang di usia tuanya masih terlihat sehat, segar, dan bugar.
Ia masih dan selalu sama dengan waktu dulu, masih rutin ke sawah untuk memeriksa Padi, Jagung, Kedelai, dan Ketela Pohonnya.
Masih tak pernah meminta untuk dirawat salah satu anak atau cucunya yang beberapa sudah dicap sukses oleh orang-orang desa.
Malah ibuku yang dahulu pernah mengajak nenek untuk tinggal bersama kami hanya bisa menahan beliau selama satu minggu, karena beliau tidak pernah betah di tempat yang sumpek dan tanpa kegiatan seperti rumah kami.
“Mat, lama sekali kamu tidak pulang ke sini?” Tanya nenekku.
“Iya nek, saya sebenarnya juga kangen nenek, tapi kesibukan saya sulit sekali untuk ditinggal nek.”
Lalu kami semua mengobrol hangat, keluarga di samping rumah dan beberapa kawan lamaku dulu bergantian memasuki rumah nenek, ngobrol sejenak dengan kami lalu kemudian pergi lagi dengan tak begitu lama, bergantian seperti tengah antri untuk melepas rindu denganku, si anak hilang.
Lalu di saat anak dan istriku mengobrol akrab dengan nenek, aku berjalan ke luar sejenak untuk mencari angin, ke arah teras samping yang juga penuh kenangan, dulu angin di sini sangat sejuk, sekarang bau angin yang manjalari hidung serasa tak kukenal lagi.
Di jamanku kecil hingga terakhir kali aku tinggal, di samping teras yang merupakan sawah milik tetangga desa, di pinggir sawah yang berbatasan dengan tanah nenekku ditanami Pepohonan Kenari yang biasanya kujadikan sasaran kencingku.
Di ujung lautan sawah di ujung utara yang sangat jauh, di horison sana tergambar Gunung Megah Semeru yang lekukannya terbiaskan embun pagi di musim hujan yang syahdu.
Dahulu aku sering menikmati pemandangan itu, birunya langit mengelus lembut lekukan biru Semeru, dengan awan yang memayungi mereka dan pepadian yang seperti tengah merumputi pasangan kekasih.
Sekarang rumah baru telah dibangun di tempat yang dulunya sawah, berbaris sampai lima blok hingga ke belakang, panorama yang dulu pun terlindungi dinding yang berlapis-lapis.
Jikalau semua dinding-dinding tergusur pun aku masih ragu panorama itu masih terlukis di ujung langit sana, kupikir pasangan Semeru dan langit biru akan malu jika ditatapi orang seramai ini.
“Hmm,” semuanya tak sama lagi seperti dulu.
“Mat, kamu tidak menemuai Setiawan?” nenekku berucap di sampingku, sambil menggenggam pundakku lembut tanpa kusadari.
“Kalian sudah lama tidak ketemu kan,” lanjutnya dengan lembut.
“Dia masih tinggal disini nek?”
Dan di tengah waktu yang beranjak sore.
Beberapa saat setelah itu aku berjalan menyamping ke kanan depan rumah nenek, memasuki celah di antara dua rumah yang dulunya belum dibangun, berkelok-kelok di dalamjalan tikus perkampungan yang bagai goa rumit yang dibuat oleh peradaban.
Jalur ini dulunya sering kulewati dan menjadi jalur faforit kami berdua.
Di genggaman tanganku tengah terpegang botol air mineral yang kuisi dengan air dari kendi sakti nenek yang kini moncong paruhnya telah sedikit gumpil.
Aku berjalan melintasi pematang sawah yang tanah sawahnya sudah mengeras dengan begitu kering, bak batu yang berselimutkan pasir kering.
Pematang sawah yang dulu, yang jejak-jejak langkah kaki kecil kami seperti masih manapak di tengah-tengahnya, selintas terbayang hangat dan lalu kuikuti dengan mata ingusanku yang tiba-tiba muncul kembali.
Jalurnya menuju arah hutan masa kecil, samar-samar kulihat hutan itu dari kejauhan, mungkin bukan tubuhnya tapi auranya yang masih tersisa, yang masih belum mau menyerah, dan berusaha sembuh dari sakit yang menyekaratkannya.
Di sana selintas kulihat Setiawan sedang duduk di tanah, berpakaian seragam S.D yang sama seperti dulu, ia sedang menatap ke atas, ke arah pucuk Pohon Beringin yang amat tua.
Perlahan kudekati sosoknya, semakin dekat bayangan masa lalu itu terterawang ia mulai berganti wujud, ada sosok lain yang menggantikan sosok kawanku, rupa wujudnya tumbuh mendewasa, diikuti dengan aura hijau hutan yang langsung luntur, mengering, dan menggugur lenyap.
Sosok ini jelas yang tadi kulihat.
Pencangkul kurus malang yang sedang duduk karena kelelahan, nafasnya terengah-engah dan peluhnya seperti bocor dari pori-pori.
Kugenggam pundaknya perlahan dengan yakin.
“Wan!” ucapku, ia seperti menoleh kaget.
“Rahmat?” spontan suaranya sambil memelototiku.
“Kamu pulang, sejak kapan?” tanyanya lagi.
“Barusan.”
“Aku dengar tanah ini sudah kamu beli, mau buat bikin apaan?” lanjutku.
“Hmm, tidak,” ia seperti merenung.
“Kalau kujawab kau pasti anggap aku gila.”
“Dari dulu sih kau sudah kuanggap gila,” ucapku membuat ia tersenyum, yang kubalas juga dengan senyum, lalu merambat menjadi tawa yang makin lebar semakin lama, saling menertawakan dengan tanpa alasan, persis seperti dulu.
Hingga suara Kambing milik Setiawan ikut menyahut dan menghentikan tawa kami, wajah kawan lamaku menghadap ke arahku, tetapi matanya melirik ke bawah.
“Aku ingin menyuburkan tanah ini menjadi seperti dulu,” aku terdiam tak bereaksi.
“Bagaimana menurutmu Mat?”
“Pohon ini kau yang menanam?” ia mengangguk.
“Cuma Kambing yang mau makan daun pohon ini kan, lalu kotorannya kau buat untuk menyuburkan tanah?” ia kembali mengangguk.
“Masuk akal sih, tapi kalau sendirian pengerjaannya akan sangat lama, apalagi tanah rawannya sudah seluas ini.”
“Bagaimanapun juga aku tetap harus melakukannya,” ucapnya dengan begitu sangat yakin, seolah tanpa ragu setitik pun.
Sekejap aku terkagum, sobatku yang begitu mulia membuatku begitu bangga, aku masih melihat dia yang dulu, sama sekali belum dirusak dan dikotori zaman yang membusuk.
“Lakukan saja yang mau kau lakukan,” ia tersenyum mendengar ucapku.
“Kalau kau butuh bantuan bilang saja padaku.”
“Nanti saja kalau sudah kepepet Mat,” ia tersenyum lebar, aku juga tertular tersenyum, lalu kami tertawa terbahak-bahak seperti orang gila yang lupa umur, sosok kami berasa seolah mengecil, melugu, dan seperti terlahir kembali dengan tanpa arahan.
Waktu pun berlalu perlahan, sore hari tak jua memalam, aku dan Setiawan berjalan pelan, bukan untuk pulang ke rumah, tetapi ke tempat yang juga katanya sudah jadi hak milik Setiawan, tempat bernostalgia masa-masa di mana kami masihlah bernaungkan kemurnian aroma desa.
Tak beberapa lama kami pun sampai, Setiawan memimpin di depan karena lebih lincah memanjat Si Pohon Mangga, ya, si pohon yang sama yang kami curi buahnya dahulu.
Aku membuntutinya dari bawah, tetapi perutku yang membuncit membuat kelincahanku tak seperti masa kecil dulu, tangan Setiawan terjulur sambil menertawai kegendutanku.
Kami bertengger di atas cabangan dahan besar, di sekeliling kami terlihat keramaian tanaman lebih ramai dari yang dahulu, tampaknya pohon-pohon ini bahagia, karena dimiliki oleh tuan yang menyayangi mereka.
Entah sudah berapa jumlah Mangga yang sudah kami lumat, tapi yang jelas kami masih di sana hingga Maghrib.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H