Mohon tunggu...
Rahma Salsabila
Rahma Salsabila Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

tugas bahasa indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Kesehatan Mental pada Siswa di Kala Pandemi

12 Maret 2021   10:12 Diperbarui: 12 Maret 2021   10:29 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan sosial telah menimbulkan rasa takut dan kecemasan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Kebijakan pembatasan sosial yang dilaksanakan di bidang pendidikan dengan adanya pemberlakuan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau biasa dikenal sebagai belajar dari rumah bagi seluruh siswa di Indonesia menimbulkan berbagai polemik bagi para siswa dan orang tua siswa.

Dengan kebijakan tersebut, tentunya para siswa mengalami perubahan drastis terkait dengan aktivitas normal di sekolah. Sejatinya aktivitas di sekolah adalah sarana untuk belajar dan bermain bagi anak dan remaja. Jadi, sejak pemberlakuan pembatasan, beragam aktivitas tersebut harus dilakukan di rumah bersama anggota keluarga dan orang tua mereka. Hilangnya waktu bermain dan belajar bersama dengan teman di sekolah, terbatasnya kesempatan untuk berkunjung ke area bermain, ataupun pengalaman menyaksikan secara langsung dampak Covid-19 terhadap orang tua atau anggota keluarga mereka (dampak fisik, ekonomi, dan psikologi), adalah pengalaman yang sulit bagi anak-anak dan remaja. Anak-anak mungkin banyak yang belum atau tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba ini. Kemampuan anak dan remaja dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan akibat Covid-19 ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia, kematangan, ataupun tahapan perkembangan anak.

Penelitian yang dipublikasikan di JAMA Pediatrics Journal dan dilakukan di Hubei China serta melibatkan 2.330 anak sekolah membuktikan bahwa anak-anak usia sekolah yang mengalami karantina proses belajar akibat Covid-19 menunjukkan beberapa tanda-tanda tekanan emosional. Bahkan, penelitian lanjutan dari observasi tersebut menunjukkan bahwa 22,6% dari anak-anak yang diobservasi mengalami gejala depresi dan 18,9% mengalami kecemasan. Hasil survei yang dilakukan oleh pemerintah Jepang juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu 72% anak-anak Jepang merasakan stres akibat Covid-19.

Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Investigasi yang dilakukan oleh Centre for Disease Control (CDC) menunjukkan 7,1% anak-anak dalam kelompok usia 3 hingga 17 tahun telah didiagnosis dengan kecemasan, dan sekitar 3,2% pada kelompok usia yang sama menderita depresi. Bahkan, penelitian lainnya menunjukkan bahwa isolasi akibat Covid-19 ini menyebabkan kondisi kesehatan mental anak-anak berkebutuhan khusus, seperti ADHD, ASD, dan disabilitas lainnya semakin buruk.

pembatasan kegiatan pembelajaran di sekolah ini tentunya berdampak signifikan pada kesehatan mental para siswa meskipun dengan derajat yang bervariasi. Data yang diperoleh dari survei penilaian cepat yang dilakukan oleh Satgas Penanganan Covid-19 (BNPB, 2020) menunjukkan bahwa 47% anak Indonesia merasa bosan di rumah, 35% merasa khawatir ketinggalan pelajaran, 15% anak merasa tidak aman, 20% anak merindukan teman-temannya, dan 10% anak merasa khawatir tentang kondisi ekonomi keluarga.

Berikut ini beberapa tanda anak tertekan dan terganggu mentalnya saat pandemi COVID-19 menurut The Union Journal:

1. Perilaku Regresif

"Secara umum, kita semua akan mengalami sedikit kemunduran dalam fungsi kita selama masa transisi besar ini," kata terapis Noel McDermott.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa anak-anak akan mengalami kemunduran dalam bersikap dan berperilaku seperti kembali mengisap ibu jari, membutuhkan mainan kesayangannya lagi, mengompol, dan sebagainya.

"Regresi adalah normal selama periode stres dan ketidakpastian," ujarnya.

2. Perubahan Nafsu makan

"Nafsu makan dan tidur anak sering kali merupakan tanda pertama bahwa segalanya tidak beres," kata Natasha Daniels, seorang spesialis anak muda. "Seringkali seorang anak akan menunjukkan peningkatan tajam atau penurunan nafsu makan."

3. Masalah Tidur

Selama tertekan, pola tidur juga dapat berubah. "Perhatikan apakah anak Anda tidur sepanjang hari atau sebaliknya mengalami kesulitan tidur atau tertidur," ungkap Daniels.

Gangguan tidur sering terjadi pada masa-masa sulit sehingga anak-anak mungkin mengalami masalah tidur, terbangun di malam hari atau berbagai kelainan lainnya.

4. Perubahan suasana hati

Perilaku yang harus diketahui terdiri dari ledakan kemarahan, putaran tangisan tak terduga, kesedihan, ketidaksabaran, kehilangan gairah dalam tugas-tugas yang disukai serta berpisah dari yang lain. Anak-anak yang gelisah kemungkinan besar benar-benar merasa lebih gugup, sementara mereka yang bermasalah mungkin memiliki lebih banyak ledakan biasa.

"Cari perubahan dalam temperamen atau suasana hati normal mereka dan ingatlah bahwa stres membuat suasana hati Anda lebih normal lagi," kata Craig A. Knippenberg, seorang spesialis serta penulis Wired and Connected: Brain-Based Solutions To Ensure Your Child's Social and Emotional Success

5. Keluhan somatik

Anak-anak mungkin memiliki lebih banyak keluhan sakit kepala, sakit perut, dan lebih sedikit energi. Ini nyata, tetapi kemungkinan bukan karena alasan medis melainkan karena beban pikiran yang mereka miliki.

Kondisi tersebut,apabila tidak diatasi akan menyebabkam hal yang lebih fatal. Melihat fenomena masalah kesehatan mental yang terjadi pada anak dan remaja di Indonesia pada masa pandemi, diperlukan upaya strategis dalam mengevaluasi sistem PJJ sekaligus memberikan dukungan kesehatan mental bagi anak dan remaja. Dukungan kesehatan mental bagi anak dan remaja sangat penting dikarenakan agar anak tidak terlalu tertekan dengan pembelajaran yang sedang dialami. Seperti guru dan orang tua juga harus lebih memperhatikan siswa dan anaknya.Menjalin kontak dan komunikasi, serta hadir secara fisik dan psikologis, dapat menjadi dukungan psikososial awal yang menguatkan. Selain itu siswa sendiri bisa meluangkan waktu (me time) untuk fokus terhadap hal hal yang kiranya dapat mengurangi stress seperti melakukan hobby dengan cara menonton atau pergi berlibur dengan sesuai protokol kesehatan dan lain lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun