Kekerasan berbasis gender belakangan menjadi isu yang cukup santer. Kekerasan ini tidak sekadar menjadikan perempuan sebagai korban, tetapi kadang berbalik menjadikan mereka subjek yang tak pernah paham peran. Perempuan sering ditempatkan pada kondisi yang lemah, tak lain karena patriarki yang diagungkan terlalu lewah. Sayangnya, tindak kekerasan berbasis gender pun kerap terjadi di dalam keluarga, lingkungan yang diklaim sebagai tempat paling aman untuk melindungi anak manusia.
Masyarakat seharusnya sadar, bahwa keluarga adalah tempat pertama seseorang tumbuh dan berkembang. Rumah harus menjadi tempat paling aman bagi seseorang untuk berkeluh-kesah. Pribadi seorang anak terbentuk di rumah, hingga pada usia tertentu ia akan berani melangkah ke sekolah. Beranjak dewasa ia akan percaya diri membaur ke masyarakat, bersosialisasi dengan tetangga dan lingkungan kerja. Sampai pada waktunya ia akan memiliki hak yang sama sebagai warga negara.
Bayangkan, jika tidak ditemukan bentuk penghargaan kepada anggota keluarga di dalam rumah, maka bisa dipastikan akan muncul bibit-bibit kekerasan antara satu dengan yang lainnya. Tentu saja, perempuan akan menjadi "lahan" yang paling kritis. Mulai dari eksploitasi ekonomi di dalam rumah yang mungkin terjadi ketika perempuan tidak bekerja, namun tak juga mendapat nafkah yang cukup dari suaminya.Â
Atau bahkan sebaliknya, perempuan bekerja untuk menjadi tulang punggung keluarga, sementara sang suami hanya berpangku tangan menunggu uang hasil kerja istrinya.
Selain itu, kekerasan tidak hanya menyerang fisik tetapi juga mental perempuan yang umumnya lebih lemah ketimbang laki-laki. Perempuan kebanyakan hanya memendam perasaan di dalam batin, sehingga rasa sakitnya tak pernah terlihat oleh orang lain.Â
Ditambah lagi kekerasan seksual, ketika suami memaksakan penetrasi yang tidak pada tempatnya kepada istri. Semua nyaris tanpa balas, ketika rumah tak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk mendapatkan perlindungan.
Data dari Komnas Perempuan di tahun 2019 menyebutkan, terdapat peningkatan sebesar 300% pada kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi dari aktivitas dalam jaringan. Dari data tersebut seharusnya masyarakat bisa berpikir, bahwa ancaman semakin besar pada periode pandemi, karena sebagian besar aktivitas dilakukan secara online.
Masyarakat sudah harus sampai pada titik sadarnya, untuk mengembalikan fungsi rumah sebagai tempat pertama bagi seseorang untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman kekerasan berbasis gender. Ideologi patriarki bukanlah sebuah alasan bagi anggota keluarga laki-laki untuk memperlakukan keluarga perempuannya dengan diskriminatif. Adanya keluarga adalah untuk saling membantu, bukan menjadikan perempuan sebagai pembantu.
Peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk menjerat pelaku kekerasan adalah bentuk tindakan represif, yang tidak akan berarti jika dari lingkungan terkecil masih terus menghasilkan bibit-bibit kekerasan berbasis gender.Â
Semakin banyak pelaku yang tertangkap bukanlah angka yang menunjukkan keberhasilan, melainkan sebuah sinyal keprihatinan, karena hal itu menunjukkan masih banyak akar masalah yang belum bisa tertumpas dengan sempurna.
Kita bisa melakukan aksi nyata dengan menjadikan rumah kembali memfungsikan kedamaian, keamanan dan kenyamanannya sebagai pemersatu keluarga, dan menjadi titik awal yang membuat seorang anggota keluarga terjun ke masyarakat dengan sikap menghormati dan rasa menghargai yang tinggi kepada anggota masyarakat lainnya.Â
Dalam skala yang lebih besar, Indonesia pun akan dipenuhi dengan pribadi yang memahami arti saling menghargai keberadaan manusia satu dengan yang lainnya, tanpa niatan merendahkan, melemahkan dan merasa lebih dominan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H