Tak ada yang mengira, garis tangan membawaku hidup di desa Wanasigra, sebuah desa paling ujung Tasikmalaya. Beratap kabut Gunung Cikuray, kakinya adalah jembatan batas Kabupaten Tasikmalaya dan Garut. Tidak ada yang menyenangkan selain hamparan sawah berundak-undak, celoteh bocah yang mulai akrab dengan cangkul, serta generasi muda yang mau bersahabat dengan miskin.
Tidak ada rumah dan mobil mewah di desa ini. Beunghar Kampung, sebuah patokan hidup ala orang desa, yang tak perlu berpendidikan tinggi sepanjang punya hamparan sawah untuk warisan anak-cucu mereka.Â
Balong, adalah kekayaan mereka yang kedua. Sepetak kolam untuk membudidayakan ikan nila yang dimiliki kebanyakan warga sebagai sumber pangan. Kebahagiaan terpancar ketika musim panen tiba. Segenggam beras dari para juragan sawah ditukar dengan seekor nila oleh para pemilik balong yang tak punya sawah. Begitulah cara mereka berbagi. Sederhana, sepanjang tercukupi kebutuhan makan sehari-hari.
Hasil sawah yang berlimpah rupanya tak berhenti di desa ini saja. Masih ada anak-anak mereka yang bekerja dan sekolah ke luar kota. Tak mampu membekali mereka dengan uang, beras pun menjadi pilihan bekal hidup selama di kampung orang.Â
Para orang tua bahkan rela membopong lima, sepuluh, atau lima belas kilogram beras untuk dikirim ke kota tempat anak-anaknya bekerja atau sekolah. Ditambah dengan beberapa butir telur asin matang, opak, kolontong, dan rengginang. Mencarter angkot milik salah satu warga, beramai-ramai membawanya ke jasa antar paket yang terdekat dengan desa.Â
Bersyukur ada JNE, meskipun harus ditempuh dalam jarak sepuluh kilometer dari desa ini. Tak perlu bayar mahal untuk carteran angkutan. Hanya perlu sebungkus nasi, tepukan di pundak dan ucapan "hatur nuhun". Begitu indahnya cara mereka memberi, yang tak hanya terbatas pada materi.
Bahagia mereka, orang-orang desa Wanasigra, rupanya tak tersentuh oleh hiruk-pikuk pandemi di luar sana. Mereka tetap saja ceria, menikmati segarnya udara, damainya dersik angin pagi yang menemani langkah kaum bapak ke masjid di ujung desa.Â
Mereka tak terusik dengan ramainya berita orang kota yang kerepotan menemukan kedamaian. Mereka tak banyak menggubris ketamakan kaum elit berdasi yang sibuk korupsi.Â
Meski begitu, kedamaian dan keselamatan negeri ini tak pernah luput dari doa yang dianjurkan oleh sang imam masjid sebelum salat berjamaah dimulai. Begitulah cara mereka menyantuni orang-orang kota dan para pemimpin negara yang fakir ketenangan batin.
Doa kami untuk negeri ini, dari desa paling ujung Tasikmalaya, semoga Indonesia senantiasa berada dalam karunia Tuhan Yang Maha Kuasa. Jauhlah dari perpecahan, jauhlah dari permusuhan. Jauhlah dari ketamakan akan kekuasaan. Karena kebahagiaan belum tentu bisa terbeli hanya dengan menjadi penguasa negeri ini. Berbagi kebahagiaan sejati, hanya datang dari hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H