Peserta sudah berkumpul sejak sore di Masjid Nusrat Jahan Semarang. Sesuai dengan rundown acara, rombongan dari IAIN Salatiga, Gusdurian Semarang, dan Persaudaraan Lintas Agama (PELITA) Semarang, akan bertolak ke Manislor untuk mengikuti kegiatan live in selama 3 hari, pada tanggal 25 sampai 27 Oktober 2019.
Live in mahasiswa dan para beberapa perwakilan dari komunitas ini adalah salah satu program kerja dari Pelaksana Penyelenggara Perayaan Tasyakur Seabad Ahmadiyah Daerah Jateng 3, berkolaborasi dengan Sekretatis Tabligh Pengurus Besar, Pengurus Pusat Lajnah Imailah, dan Pengurus Pusat Majelis Khudamul Ahmadiyah Indonesia.
Setelah mendirikan sholat Isya berjamaah di Masjid Nusrat jahan, peserta mengawali perjalanan dengan doa bersama yang dipimpin oleh Mubaligh Ahmadiyah Wilayah Jateng 3, Bapak Maulana Saefulloh Ahmad Faroukh. Tidak hanya mahasiswa, turut hadir juga beberapa dosen dari IAIN Salatiga sebagai pendamping.
Alhamdulillah perjalanan sangat lancar karena karunia Allah taala. Rombongan tiba di Masjid An-Nur, salah satu masjid Jemaat Ahmadiyah di Desa Manislor sekitar pukul 23.30 WIB, dan langsung disambut dengan sangat mulia oleh tuan rumah. Setelah sejenak menghangatkan badan dengan suguhan minuman hangat, para peserta dipersilakan untuk beristirahat di tempat yang telah disediakan. Para peserta ikhwan menginap di asrama yang menyatu dengan Masjid An-Nur, sedangkan peserta akhwat tersebar di beberapa rumah warga. Hal ini, selain karena adab agar tidak ada percampuran antara laki-laki dan perempuan lain mahram, juga agar peserta bisa membaur bersama warga di desa ini, yang memang 80 persennya adalah anggota jemaat Ahmadiyah.
Acara dibuka secara resmi keesokan harinya oleh Bapak Yusuf Ahmadi, Ketua Jemaat Ahmadiyah Cabang Manislor yang juga sekaligus Kepala Desa Manislor. Bertempat di Masroor Hall, sebuah gedung pertemuan dua lantai di area Masjid An-Nur, Mln. Irfan Maulana selaku Mubaligh Daerah Majalengka-Kuningan menyampaikan agar para peserta tidak sungkan untuk membaur dan memanfaatkan acara ini dengan bertanya tentang hal apapun yang ingin diketahui tentang Ahmadiyah dengan detail. Para peserta yang berjumlah 51 orang kemudian dibagi menjadi empat kelompok, di mana masing-masing kelompok didampingi oleh mentor dan mubaligh Ahmadiyah.
Kegiatan hari pertama dimulai sekitar pukul sepuluh pagi sampai menjelang waktu zuhur, peserta secara berkelompok dibawa berkeliling mengenal Ahmadiyah secara umum, dengan mengunjungi beberapa ruangan yaitu, Tabligh Center, Perpustakaan, dan bagian dalam masjid.
Dari ruangan Tabligh Center, peserta disambut dengan jajaran foto pendiri dan khalifah-khalifah Ahmadiyah, yang telah membawa jemaat ini menyebar hingga ke 213 negara. Beberapa poster tentang sejarah berdirinya Ahmadiyah di Qadian, hingga masuknya Ahmadiyah ke Indonesia pada Tahun 1925, syahadat, rukun islam, dan rukun iman yang dianut oleh organisasi Ahmadiyah. Beberapa peserta mengabadikan dengan kamera ponsel, karena setidaknya mereka menemukan bukti, bahwa tidak ada perbedaan tentang akidah keimanan dan kalimat syahadat yang diucapkan oleh para ahmadi (sebutan untuk anggota jemaat Ahmadiyah).
Selain menyuguhkan persamaan, tentu saja ada hal yang disinyalir menjadi perbedaan antara Ahmadi dan non Ahmadi, yaitu akidah tentang kewafatan Nabi Isa alaihissalaam, dan figur Al Masih yang dijanjikan.
Semua muslim sepakat bahwa Almasih akan datang kembali sebagai penyelamat umat di akhir zaman, tetapi hanya Ahmadiyah yang sudah meyakini bahwa figur Almasih yang dijanjikan tersebut ada dalam diri Hazrat Mirza Ghulam Ahmad.
Lain halnya dengan Tabligh Center yang memantik pertanyaan tentang imam akhir zaman, ruang perpustakaan menyuguhkan sebuah 'tema besar' yang juga sering digadang-gadang menjadi kesesatan Ahmadiyah oleh publik yang hanya berkutat pada prasangka, yaitu kitab suci Ahmadiyah. Mubaligh Irfan menunjukkan sebuah buku bertuliskan 'Tadzkirah'. Buku yang sering disangka sebagai kitab sucinya penganut Ahmadiyah ini, dijelaskan, tidak lain adalah sebuah buku yang bahkan ditulis beberapa tahun setelah kewafatan Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri jemaat ini.
Tadzkirah tidak lain adalah sebuah buku, sama halnya dengan buku yang lain, yang berisi kabar suka tentang pengalaman rohani Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Pada awalnya, pengalaman rohani tersebut hanya beliau tuliskan dan tersebar di banyak buku. Baru pada tahun 1935, semua catatan pengalaman rohani ini dikodifikasikan ke dalam satu buku bernama Tadzkirah.
Sebagaimana halnya sebuah buku, tidak ada kewajiban bagi anggota jemaat Ahmadiyah untuk memiliki, membaca, atau bahkan memedomani Tadzkirah dalam kehidupan sehari-hari. Karena, sumber hukum yang wajib dipedomani, rutin dibaca, dipahami, dan diamalkan oleh para ahmadi, tidak lain adalah Alquran dan Hadits Rasulullah salallaahu alaihi wasallam. Bahkan, di perpustakaan tersebut, terlihat beberapa Alquran yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia oleh tim penerjemah Ahmadiyah. Masya Allah.
Kelompok kembali menyusuri conecting door menuju bagian dalam Masjid An-Nur. Peserta tampak memperhatikan sekeliling masjid. Beberapa pasang mata terlihat terhenti pada sebuah televisi yang terpasang di dalam masjid. Hampir di setiap masjid Ahmadiyah akan terpasang satu unit televisi. Fungsinya, tentu saja bukan untuk mengikuti serial sinetron, melainkan hanya untuk menyimak khutbah dan kiprah khalifah di kancah internasional, melalui siaran Muslim Television Ahmadiyya (MTA).
Kegiatan sejenak rehat untuk pelaksanaan salat jumat. Masjid yang lengang seketika tampak berjubel dengan jemaat. Tidak hanya kaum laki-laki, kaum perempuan pun mengikuti kegiatan salat jumat. Tentu saja ini bukan sebuah keanehan, karena meskipun disebutkan sebagai sunah, bukan berarti menjadi hal yang bisa dengan mudah ditinggalkan.
Lagi-lagi, ini menjadi bukti kecintaan para ahmadi pada Rasulullah salallaahu alaihi wasallam, yaitu dengan semaksimal mungkin melaksanakan sunah-sunah beliau.
Setelah salat jumat dan makan siang, para peserta kembali beraktivitas dengan berkelompok. Kali ini mereka akan diajak berkeliling Desa Manislor, khusus mengunjungi masjid-masjid milik jemaat Ahamdiyah di desa ini. seluruhnya ada 10 masjid yang akan dikunjungi. Terbagi menjadi dua kelompok besar, kelompok pertama akan mengunjungi Masjid Al-Hidayah, Masjid Baiturrahman, Masjid Al-Hikmah, Masjid Masroor, dan Masjid Al-Jihad sebagai titik temu dengan kelompok kedua yang mengunjungi Masjid Al-Barokah, Masjid At-Taqwa, Masjid Al-Ikhsan, dan Masjid Nurul Islam, yang hingga saat ini masih berupa puing-puing sisa penyerangan dan pembakaran oleh massa.
Di titik temu terakhir yaitu Masjid Al-Jihad, para tokoh Ahmadi bergantian menceritakan perjuangan warga dan para ahmadi kala itu, dalam "The Real Jihad" mempertahankan keyakinan mereka untuk tetap bisa beribadah dan memiliki masjid sendiri, sekaligus jihad melawan hawa nafsu untuk tidak memberikan balasan atau perlawanan kepada para penyerang. Warga lebih memilih bahu-membahu semampunya untuk bisa kembali membangun masjid-masjid yang dirusak dan dibakar massa tak dikenal. Sebelum kembali ke penginapan, peserta mengunjungi makam khusus bagi warga ahmadi yang sudah melakukan pengorbanan harta melalui program Al-wasiyat.
Sebuah titik haru yang menggedor hati nurani, adalah ketika melihat keluguan warga desa yang dalam alam pikirnya hanya mencari ketenangan di hadapan Allah dengan berkeyakinan Islam di organisasi Ahamdiyah, namun dihadapkan pada pertentangan, penyerangan, bahkan pembakaran.
Sebuah pelajaran pun terpetik, bagaimana mereka demikian patuh pada nasihat imam mahdi yang mereka yakini, bahwa keberanian sejati tidak harus ditunjukkan dengan balik melawan, melainkan dengan mendoakan dan terus berjalan di atas rel kebaikan.
Kegiatan hari pertama di Manislor, ditutup dengan sebuah pelajaran mahal. Tentang pentingya menetralkan frekuensi prasangka terhadap orang, sekelompok orang, dan terutama tentang apa yang mereka pilih sebagai keyakinan. Bahwasanya, sebagai makhluk ciptaan Sang Khalik, kita harus mampu menggaris bawahi apa sebenarnya tujuan manusia diciptakan di dunia. Kita harus paham, bahwa dalam level nabi dan rasul pun, mereka hanya memiliki kapasitas untuk meyampaikan, bukan untuk memaksakan keyakinan. Lalu mengapa, kita di ranah umat nabi menjadi tega untuk berperilaku sebagai Tuhan yang menghakimi sesama?
Baca lanjutan artikel ini di : Live in Mengenal Ahmadiyah (Bagian ke-2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H