Tadzkirah tidak lain adalah sebuah buku, sama halnya dengan buku yang lain, yang berisi kabar suka tentang pengalaman rohani Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Pada awalnya, pengalaman rohani tersebut hanya beliau tuliskan dan tersebar di banyak buku. Baru pada tahun 1935, semua catatan pengalaman rohani ini dikodifikasikan ke dalam satu buku bernama Tadzkirah.
Sebagaimana halnya sebuah buku, tidak ada kewajiban bagi anggota jemaat Ahmadiyah untuk memiliki, membaca, atau bahkan memedomani Tadzkirah dalam kehidupan sehari-hari. Karena, sumber hukum yang wajib dipedomani, rutin dibaca, dipahami, dan diamalkan oleh para ahmadi, tidak lain adalah Alquran dan Hadits Rasulullah salallaahu alaihi wasallam. Bahkan, di perpustakaan tersebut, terlihat beberapa Alquran yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia oleh tim penerjemah Ahmadiyah. Masya Allah.
Kelompok kembali menyusuri conecting door menuju bagian dalam Masjid An-Nur. Peserta tampak memperhatikan sekeliling masjid. Beberapa pasang mata terlihat terhenti pada sebuah televisi yang terpasang di dalam masjid. Hampir di setiap masjid Ahmadiyah akan terpasang satu unit televisi. Fungsinya, tentu saja bukan untuk mengikuti serial sinetron, melainkan hanya untuk menyimak khutbah dan kiprah khalifah di kancah internasional, melalui siaran Muslim Television Ahmadiyya (MTA).
Kegiatan sejenak rehat untuk pelaksanaan salat jumat. Masjid yang lengang seketika tampak berjubel dengan jemaat. Tidak hanya kaum laki-laki, kaum perempuan pun mengikuti kegiatan salat jumat. Tentu saja ini bukan sebuah keanehan, karena meskipun disebutkan sebagai sunah, bukan berarti menjadi hal yang bisa dengan mudah ditinggalkan.
Lagi-lagi, ini menjadi bukti kecintaan para ahmadi pada Rasulullah salallaahu alaihi wasallam, yaitu dengan semaksimal mungkin melaksanakan sunah-sunah beliau.
Setelah salat jumat dan makan siang, para peserta kembali beraktivitas dengan berkelompok. Kali ini mereka akan diajak berkeliling Desa Manislor, khusus mengunjungi masjid-masjid milik jemaat Ahamdiyah di desa ini. seluruhnya ada 10 masjid yang akan dikunjungi. Terbagi menjadi dua kelompok besar, kelompok pertama akan mengunjungi Masjid Al-Hidayah, Masjid Baiturrahman, Masjid Al-Hikmah, Masjid Masroor, dan Masjid Al-Jihad sebagai titik temu dengan kelompok kedua yang mengunjungi Masjid Al-Barokah, Masjid At-Taqwa, Masjid Al-Ikhsan, dan Masjid Nurul Islam, yang hingga saat ini masih berupa puing-puing sisa penyerangan dan pembakaran oleh massa.
Di titik temu terakhir yaitu Masjid Al-Jihad, para tokoh Ahmadi bergantian menceritakan perjuangan warga dan para ahmadi kala itu, dalam "The Real Jihad" mempertahankan keyakinan mereka untuk tetap bisa beribadah dan memiliki masjid sendiri, sekaligus jihad melawan hawa nafsu untuk tidak memberikan balasan atau perlawanan kepada para penyerang. Warga lebih memilih bahu-membahu semampunya untuk bisa kembali membangun masjid-masjid yang dirusak dan dibakar massa tak dikenal. Sebelum kembali ke penginapan, peserta mengunjungi makam khusus bagi warga ahmadi yang sudah melakukan pengorbanan harta melalui program Al-wasiyat.
Sebuah titik haru yang menggedor hati nurani, adalah ketika melihat keluguan warga desa yang dalam alam pikirnya hanya mencari ketenangan di hadapan Allah dengan berkeyakinan Islam di organisasi Ahamdiyah, namun dihadapkan pada pertentangan, penyerangan, bahkan pembakaran.
Sebuah pelajaran pun terpetik, bagaimana mereka demikian patuh pada nasihat imam mahdi yang mereka yakini, bahwa keberanian sejati tidak harus ditunjukkan dengan balik melawan, melainkan dengan mendoakan dan terus berjalan di atas rel kebaikan.
Kegiatan hari pertama di Manislor, ditutup dengan sebuah pelajaran mahal. Tentang pentingya menetralkan frekuensi prasangka terhadap orang, sekelompok orang, dan terutama tentang apa yang mereka pilih sebagai keyakinan. Bahwasanya, sebagai makhluk ciptaan Sang Khalik, kita harus mampu menggaris bawahi apa sebenarnya tujuan manusia diciptakan di dunia. Kita harus paham, bahwa dalam level nabi dan rasul pun, mereka hanya memiliki kapasitas untuk meyampaikan, bukan untuk memaksakan keyakinan. Lalu mengapa, kita di ranah umat nabi menjadi tega untuk berperilaku sebagai Tuhan yang menghakimi sesama?
Baca lanjutan artikel ini di : Live in Mengenal Ahmadiyah (Bagian ke-2)