Apakah anda sudah apa yang sedang trending di twitter atau di instagram hari ini? Coba anda cek lalu lihatlah komentar-komentar yang ada pada hashtag ngetren itu.Â
Jika sudah, izinkan saya untuk sedikit menebak apa yang akan anda temukan dalam kolom komentar postingan yang telah anda baca, izinkan juga saya bertanya, apakah anda menemukan kata-kata seperti An****, Go****, dan Ng*****.
Ah, anda tidak perlu saya beri tahu secara gamblang apa kata yang sengaja saya sensor. Bahkan dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya menduga bahwa anda bisa jadi lebih banyak tahu kata atau frasa apalagi yang biasanya netizen letuskan di dalam kolom komentar.Â
Nah, jika yang demikian itu sudah menjadi hal lazim dalam kebiasaan kita di alam jagat raya sosial media, lantas mau bagaimana kita akan terlepas dari jerat budaya caci maki yang makin "membudaya" di negara yang "katanya" ramah tamah dan ramah semah (tamu).
Betapa durhakanya apabila saya tidak juga menunjukan fakta lainnya bahwa caci maki yang kian menjadi ini juga dilakukan oleh generasi muda yang unyu dan gemas tetapi juga memiliki mulut naudzubillah ganas.
"Bocil kematian" sebagai sebuah frasa yang digaungkan oleh Youtuber Windah Basudara seolah-olah memang bukan sekedar istilah tanpa makna.Â
Bisa jadi memang hal itu merupakan sebuah satire tidak langsung dari Windah bahwa generasi muda kita telah berada pada titik nadir hakikatnya sebagai makhluk suci, bak iklan Clin* "putih bersih seperti tanpa noda".
Tentu sebagai manusia Indonesia yang harusnya mengedepankan persatuan dibanding dengan perseteruan, sikap suka mengumpat apalagi dilakukan secara "telanjang" di depan publik serta disaksikan jutaan umat manusia sungguh merupakan hal yang amat disayangkan.Â
Sayang, jelas karena hal demikian seperti menunjukan bahwa seperti itulah memang "pandemi" yang tengah menjangkit generasi muda kita, bukan saja masih muda tetapi generasi yang sangat-sangat muda.
Kalau generasi mudanya saja sudah begitu, lalu apa kabar dengan generasi di atasnya?Â
Ironisnya, dalam pandangan saya generasi di atasnya bukan saja kurang menunjukan sikap terhormat, tetapi juga banyak yang bahkan santainya berkolaborasi dengan para "bocil kematian" itu untuk menjatuhkan harkat dan nama baik seseorang melalui kata-kata yang argumennya tidak didasarkan atas penalaran logis, tetapi cenderung mengedepankan amarah semata.
Oke, hingga uraian ini mari kita coba sejenak untuk merenung dan merefleksi diri, sebetulnya mengapa hal yang dalam istilah bang Rhoma "sungguh terlalu" ini bisa sampai membudaya?Â
Untuk itu mari kita kembali melakukan loncatan besar ke masa lalu dengan menyelami kembali gagasan-gagasan cemerlang dari bapak pendidikan nasional kita yaitu Mas Suwardi Suryaningrat atau biasa dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.
Tujuan pendidikan nasional yang digagasnya bila kita merangkumnya tak lain bermuara kepada pengembangan olah rasa, olah cipta, dan oleh karsa.
Akal, rasa, dan perbuatan baiklah yang hendak dilahirkan dari proses pendidikan nasional. Fenomena yang kini terjadi seperti menunjukan pincangnya aspek-aspek yang harus dikembangkan oleh sistem pendidikan tersebut.Â
Ya, olah rasa misalnya, sebagai bagian vital dalam ekstistensi manusia kini keberadaanya justru antara ada dan tiada.Â
Maka, anda tidak perlu heran jika generasi muda kita yang sebetulnya pinter lalu dengan mudahnya menjadi keblinger. Ini tak lain karena akal dan kepintaran yang mereka punya, tak seimbang dengan kehalusan budinya.
Lalu bagaimana dampak iringan dari kurangnya kehalusan budi yang kini tidak banyak hinggap dalam diri manusia Indonesia? Rapuh. Ya, inilah yang akan terjadi.Â
Manusia Indonesia menjadi sosok yang rapuh sejak dalam hati dan pikiran, apalagi dalam perbuatan kalau meminjam sepenggal istilah Pram. Dari sinilah kita bisa menarik benang merah kaitan antara pendidikan, kerapuhan, dan berujung pada umpatan.
Upaya terbaik yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat mungkin tak dapat sebesar dengan mengubah kebijakan.Â
Dalam skala mikro kita dapat menjadi orang yang mampu memberikan pemahaman kepada orang-orang di sekitar, seperti keluarga, tetangga, atau teman tentang perlunya bersikap bijak dalam pola interaksi baik secara langsung dan khususnya secara tidak langsung.Â
Ya, tebarkanlah kebaikan walaupun hanya sepatah duap patah kata, setidaknya itu lebih bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H