"Baiklah, kalau begitu, sekarang silahkan Yai Izan"
"Oke, terimakasih sebelumnya ananda Bursh, saya sepakat sekali dengan apa yang disampaikan sebelumya, bahwa memang betul saat ini untuk bisa berekspresi di depan publik menjadi cukup riskan. Apalagi setelah ada peraturan yang seolah mengamankan namun dalam praktik justru pasal karet yang ada di dalamnya mengancam iklim demokrasi kita. Hal ini yang kemudian menyebabkan budaya kritisisme menjadi tereduksi di tengah-tengah masyarakat awam, bahkan merambah juga pada para cendekiawan. Tentu saja para cendekiawan menjadi dilema atas hal ini, di satu sisi mereka ingin melakukan kritik tetapi mempertibangkan juga keselamatan diri, dan ini tentu tidak bisa serta merta disalahkan."
"Ironi yang sebenar-benarnya menyakiti adalah transformasi para cendekiawan yang bermetamorfosa menjadi cendeketiak. Apa itu? Singkatnya yaitu mereka yang menggadaikan intelektualitasnya untuk alasan menindas. Inilah cendekiawan yang berbahaya, mereka menodai marwah dari intelektual atau cendekiawan. Ilmunya mereka gunakan untuk menutupi kemungkaran dan memutarbalikan fakta. Hari ini, orang-orang seperti itu banyak sekali, cendeketiak, ya itulah para cendekiawan yang berlindung di bawah ketiak tirani." Ujar Yai Izan.
Setelah menandaskan argumennya, keriuhan mulai menjalar di arena diskusi, apalagi saat Bale memberikan kesempatan bagi audien untuk menyampaikan pendapatnya. Banyak tangan teracung ke udara sebagai tanda hendak berpendapat, dan tangan mereka saling bergoyangan sebagai tanda ingin segera ditunjuk Bale untuk berbicara.Â
Bale lantas menunjuk tangan yang teracung di pojok kanan arena diskusi, ia tak begitu melihatnya dengan jelas, saat telah dipersilahkan, rupanya Bos Aman yang berdiri, dan tentu saja sontak membuat mereka yang ada di sana cukup riuh kembali, secara Bos Aman dalam pandangan mereka juga salah satu pemikir yang ada di kampusnya dan salah satu orang paling berpengaruh.
"Terimakasih kamerad, Tabik.
Mendengar jalannya diskusi ini jelas saya sangat tertarik, apalagi pembahasan kali ini menyangkut morat maritnya kondisi cendekiawan dan negara bangsa. Perlu kita sadari bahwa memang kondisi negara bangsa yang luluh lantak ini adalah akibat juga dari kondisi kritisisme yang kering, tetapi hal itu juga imbas dari kebijakan yang garing. Lingkaran setan keduanya memang tidak dapat terpishakan.Â
Namun, jika kita ingin urut pokok permasalahannya, saya kira berasal pada sesuatu yang fundamental, tetapi jarang terpikirkan oleh orang lain. Ya, sumbernya adalah dari pola pendidikan yang menindas.Â
Sehingga tidak heran produk pendidikan kita adalah calon penindas berikutnya yang membuat negara makin bangkrut dan semrawut. Saya kira itu saja, terimakasih"
Tepukan sejurus kemudian tertuju pada Bos Aman atas kritik kerasnya. Berikutnya kemudian adalah giliran seorang akhwat, dan atas hal ini jelas pandangan ikhwan mistis tertuju dan fokus kepadanya, apalagi Izal, Babe, dan Urip yang tak jauh dari posisi duduknya.
"Menurut saya, memang masalah besar ketika seorang cendekiawan menjadi seperti yang dibilang oleh Yai Izan sebagai cendeketiak, akan tetapi arus kebijakan yang otoriter dan mengekang yang pada akhirnya membuat mereka kehilangan pilihan. Kalau dikatakan idealismenya luntur saya kira tidak, karena hati nurani mereka pasti tak seperti keterpaksaan yang menderanya. Saya kira ini dilema yang pangkal masalahnya ada pada kebijakan yang rigid ini"