Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suaka Marga Cinta

23 April 2020   10:52 Diperbarui: 23 April 2020   10:48 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Stux

Alam semesta terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Mereka hidup berdampingan, membangun ikatan, juga bersama-sama membangun peradaban. Interaksi sosial yang merupakan ciri utama manusia, memungkinkan semua hal itu terjadi. Manusia tidak dapat hidup sendiri, karena pada ujungnya hidup sendiri adalah ketidakhidupan itu sendiri.

Untuk tetap bisa hidup, manusia tidak cukup hanya hidup bagi penghidupan dirinya sendiri, manusia juga perlu dan harus bisa menghidupi. Sejarah membuktikan bahwa manusia telah mampu melakukan usaha penghidupan dan menghidupi itu. Lalu, apakah sampai disitu saja kemampuan manusia dalam menjalankan apa yang disebut dengan konsep "hidup"?

Tentu saja manusia tidak cukup pada dua tindakan hidup dan menghidupi. Manusia juga butuh melakukan upaya pemanusiaan. Ya, jika diibaratkan hidup itu hanya rangkanya saja, sedangkan manusia dalam arti yang berjiwa kemanusiaan adalah dinamonya. Manusia dari waktu ke waktu telah lengkap jika hanya dilihat dari sisi aktivitas hidup dan menghidupi juga pemanusiaan, namun dalam tinjauan yang lainnya, apakah aktivitas pemanusiaan manusia sudah bisa dikatakan optimal?

Bukankah selama perjalanan dunia, mulai dari era yang paling primitif, hingga kini yang katanya sudah serba canggih, tindakan, kegiatan, serta aktivitas yang mencerminkan peri kemanusiaaan masih jarang-jarang terlihat secara menyeluruh dan dilakukan secara massif oleh manusia. Alih-alih pemanusiaan, justru upaya-upaya pembinasaan juga tak kalah banyak menghiasi layar pemberitaan di seantero dunia.

Hal memprihatinkan terlihat di mana-mana, mempertontonkan ketikdakmanusiaan manusia seperti penjarahan, pengucilan, pembinasaan, dan bentuk nir kemanusiaan lainnya. Betapa nisbi peri kemanusiaan itu, bahkan tak jarang hal ihwal kemanusiaan sekedar dijadikan dalih guna berkuasa dan mendominasi kaum papa.

Orang-orang yang tertindas lalu silih bertegur ngeri, saling tukar menukar derita tanpa bisa banyak mengubah keadaan, justru kian tertindas oleh ketamakan. Mereka mencari suaka kesana kemari, merintih memohon dermawan agar datang menyantuni, hingga dijadikan tontonan para pemilik modal pun mereka rela gadaikan kehormatan demi sesuap nasi.

Kemanusiaan tengah sekarat, jika tidak ingin dikatakan kemanusiaan sudah mati. Manusia mulai bermetamorfosa menjadi marga (Baca: Binatang Liar) layaknya Gregor Samsa[1] berubah menjadi makhluk aneh layaknya cecunguk raksasa. Ya, manusia menjadi binatang, manusia kerasukan kerakusan, bahkan lebih rakus dari binatang itu sendiri.

Entang Kosasih[2] pun mungkin tertipu, padahal monyet sebetulnya lebih bisa dibilang manusia ketimbang manusia itu sendiri. Setidaknya dari segi ketamakan mereka lebih rendah dibanding manusia. Lantas, mengapa manusia bisa lebih tamak dari binatang yang justru pada hakikatnya tamak? Mengapa banyak manusia yang enggan untuk merasa cukup?

Pada saat inilah perbincangan mengenai cinta menjadi relevan. Cinta tentu saja bukan sekedar hubungan asmara dua sejoli. Makna cinta lebih dalam dan berisi dari sebuah pandangan tentang seksualitas. Cinta adalah tentang keterkaitan keterikatan, saling memberi dan saling menerima. Gotong royong juga itulah cinta[3].

Dalam konteks saat ini, dalam dunia yang makin menyisihkan urusan cinta dalam segala bentuk interaksi sosial, maka tidak heran banyak hubungan yang terjalin tetapi tidak membatin. Hubunngan terjadi sekedarnya dan seperlunya saja, interaksi sosial tak ubahnya sebuah sampah yang terbawa arus sungai di pinggir rumah, ia sekedar lewat saja, namun pada akhirnya mengakibatkan beragam bencana.

Kalau hari ini pada saat dunia sedang kalut karena pandemi itu bisa sedikit mengangkat kembali makna dari cinta, maka itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Manusia perlu kembali belajar tentang arti cinta secara lebih luas, sehingga ia tak lepas dari kodratnya sebagai manusia. Memang ada yang mengatakan pembeda antara manusia dan binatang adalah akalnya, tetapi sekedar akal pun tidak cukup, manusia memerlukan cinta agar ia bisa melengkapi kemampuannya bernalar dengan tidak menanggalkan hati nurani.

Sedikitnya propaganda tentang cinta cukup sering digemakan belakangan ini. Solidaritas kosmopolitan sedang coba dibangun buntut dari adanya pandemi. Semoga saja hal ini bukan cuma dikampanyekan belaka, tetapi dipahami juga diamalkan oleh si pembicara dan penyimak. Pun hal ini tidak sekedar dilakukan ketika pandemi, tetapi pasca kejadian ini teratasi, dan semoga saja potongan puzzle kemanusiaan yang kurang lengkap kini dapat diperbaiki kekurangannya kembali.

Catatan kaki:

[1] Tokoh Utama dalam novel karangan Franz Kafka yang berubah wujudnya menjadi makhluk aneh.

[2] Entang Kosasih merupakan nama tokoh dalam novel Eka Kurniawan yang terobsesi untuk berubah menjadi manusia.

[3] Erich Fromm dalam bukunya Seni Mencintai membagi cinta menjadi lima jenis yaitu cinta persaudaraan, cinta diri, cinta seksual, cinta tuhan, dan cinta orang tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun