Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Keseganan

20 April 2020   15:24 Diperbarui: 20 April 2020   15:33 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto/Pixabay/intographics

Tambatan tali harapan merekah pudar. Bantalan perlindungan menipis, lenyap bersama lapuknya jangkar tempat bertahan. Lemah, hilang kendali, terseret perlahan menuju ruang kenistaan. Enggan bergerak menyapu setiap rintangan, kikuk menatap cobaan besar di muka, menampilkan sosok digdaya, kuat, lagi berbahaya.

Pemandangan ngeri memberi kesan perasaan untuk berlari. Melepaskan jeratan batin dari hantu ketidakpastian. Tubuh menggelepar mencari tangan pertolongan, hidung mendengus kencang beri tanda kesusahan, mulut berkelakar minta dikasihani. Sebuah potret sempurna bagi seorang hamba yang tak berdaya di bawah tapal kaki tuannya.

Penjelasan berhenti terlontar, benak terbayang jurang terjal di balik pintu, memaksa lidah menahan kelihaiannya untuk berkata. Bibir mengatup laksana daun putri malu saat disentuh ujung jari. Membenamkan eksistensi dalam kenihilan. Menjauh, pergi terburu-buru sambil sesekali menengok sang pemburu yang mengikuti.

Perapian pikiran brilian padam. Meninggalkan arang tak berdaya guna. Hitam legam tak berarti, kehilangan makna keluhurannya. Potongan cerita sirna dari berita, terhalang desus keseganan. Batal hadir ke permukaan, memberi warna, menorehkan kisah, menunjukan kabar gembira. Tak lagi, rencana tinggalah wacana.

Panggilan kehendak termakan ganasnya para ksatria. Menyita niat sekaligus tabiat, membungkus lantas menyingkirkannya hingga orang lupa namanya, kehormatannya. Semua yang berusaha, berupaya, akan segera diperdaya. Berbagai akal terselip dalam setiap kantung celana, sejurus kemudian berubah jadi senjata menakutkan.

Prosedur sistem supremasi dilancarkan massif menyeluruh. Terbangkan peristiwa kepada semesta. Lewat patron untaian kata-kata meyakinkan, lewat suar elektromagnetik habitus masyarakat, lewat pagoda hierarki dominasi. Berbagai cara diupayakan, dikorbankan, demi sebuah bentuk keniscayan. Keseganan dalam cengkraman.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun