Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Antipati?

12 Februari 2020   19:10 Diperbarui: 12 Februari 2020   19:15 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: PixabayGeralt

Dalam perjalanan hidup ini kita mungkin seringkali terlibat dengan beragam macam obrolan. Kemudian, dari setiap oborolan, perbincangan, dan dialektika yang terjadi kerap membawa kita untuk masuk ke dalam pokok persoalan yang problematik sampai-sampai pada akhirnya mengarah kepada muara terakhir, yaitu perdebatan.

Mungkin sudah tertanam dalam pemikiran kita bahwa perdebatan adalah sesuatu hal yang berkonotasi negatif. Hal ini tidak sepenuhnya keliru jika melihat fakta yang terjadi. Banyak orang berdebat ini itu, dalam berbagai forum itu ini, bersungut-sungut, dengan dahi berkerut, dan juga wajah cemberut ketika berada pada suatu perdebatan. Ya, fenomena perdebatan semacam itu pada akhirnya menghasilkan sebuah paradigma publik bahwa perdebatan adalah hal ihwal yang sama sekali tidak baik.

Kita mungkin sudah jenuh dengan perdebatan tidak sehat yang selalu dipertontonkan oleh banyak pihak yang tak lain tujuannya hanya sekedar untuk tunjuk menunjukan diri, menebar eksistensi, dan memperluas ekspansi. Sehingga tidak heran jika tujuan perdebatannya dilandasi oleh hal semacam itu, maka tidak akan menghasilkan manfaat bagi keduanya, dan umumnya bagi publik.

Perlu kita cermati juga mengenai hakikat dari perdebatan itu sendiri, sehingga tidak menjadi bias dan malah cenderung mendapat stigma dari khalayak. Perdebatan adalah upaya pencarian kebenaran lewat pertukaran pemikiran dan penalaran. Tujuannya sendiri pada hakikatnya adalah semata-mata guna menyelesaikan masalah yang menjadi tanggungan dan kerisauan bersama.

Lantas mengapa tujuan mulia dari perdebatan itu belum termanifestasi dengan semestinya? Mengapa debat dalam pandangan publik tidak semulia hakikatnya? Banyak hal yang melandasi mengapa perdebatan alih-alih mendapat simpati dan empati tetapi malah dihujat dan direspon dengan antipati.

Pertama, subjek yang berdebat seringkali hanya mementingkan keperluan pribadi diatas keperluan bersama. Ini sudah jamak kita lihat, misalnya dalam perdebatan di ranah akademik. Mungkin kita sering melihat dua orang yang sama-sama saling memasang kuda-kuda demi mempertahankan argumennya. Mulut mereka sampai berbuih saking semangatnya mempertahankan argumentasinya. Hal ini tak jarang membuat argumen dari lawan bicara meskipun masuk akal dan benar, sengaja tertolak oleh nafsu dan birahi egoisme.

Kedua, hampir sama dengan yang pertama, alasan mengapa orang antipati terhadap perdebatan adalah karena cara kita berdebat terlalu mencekam dan seolah marah. Hal ini yang biasanya membuat orang dengan mudah bahwa perdebatan itu tidak baik. Ketika berdebat tak jarang kita melihat mereka seperti saling emosi, saling membenci, dan saling merendahkan.

Terutama jika perdebatan ini disaksikan publik, tentu sudah sepatutnya kita menunjukan cara berdebat yang lebih bermartabat. Kita perlu menunjukan bahwa berdebat itu sehat, dan sebetulnya sebuah keseharian yang lumrah saja dilakukan siapapun dan dimanapun. Ini menjadi penting untuk merubah pola pikir publik bahwa berdebat pun bisa dilakukan oleh mereka, dan itu baik juga untuk akal sehat mereka.

Gaya berdebat yang santai dan diselingi humor justru menjadi hal yang lebih disukai masyarakat jika terjadi di ruang publik. Memang jika kita hendak mempromosikan kegiatan berdebat sebagai aktifitas yang baik, maka kita pun perlu menjadi duta debat yang baik pula bagi mereka yang masih memandang perdebatan sebagai sesuatu yang tabu.

Semestinya kita paham bahwa masyarakat masih banyak yang enggan untuk melihat perdebatan, apalagi hendak masuk ke dalamnya. Kita perlu memulai menyadarkan kepada khalayak bahwa perdebatan tak ubahnya obrolan di warung kopi, semua orang berhak berbicara dan disimak pandangannya, lalu makan dan tertawa bersama menjadi bukti bahwa musyawarah mufakat tentang suatu permasalahan sudah tercapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun