Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena Kerajaan Baru dan Problematika Kebudayaan bagi Nadiem Makarim

26 Januari 2020   17:55 Diperbarui: 26 Januari 2020   18:05 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/KELLEPICS

Kita sudah tahu bahwa belakangan ini kabar tentang kerajaan baru berkembang dimana-mana. Mereka seketika bermunculan bak laron di kala hujan. Misalnya ada kerajaan Agung Sejagat, Sunda Empire, dan klaim kerajaan lain. Semua silih berderet memasuki gelombang pemberitaan di berbagai media sosial.

Lalu sebeneranya fenomena macam apa yang kini tengah terjadi? Saya melihat bahwa hal ini tidak terlepas dari kebudayaan. Ya, klaim-klaim yang digunakan oleh mereka kebanyakan bertolak dari corak kebudayaan yang kental. Sebagai contoh Sunda Empire, mereka berdalih bahwa adanya mereka adalah sebagai pewaris dari kejayaan kerajaan Padjadjaran, dan juga ada untuk menjaga budaya dan kestabilan dunia.

Beberapa pakar budaya jelas melihat ini sebagai problematika budaya yang tidak bisa dianggap sepele. Pasalnya bisa saja mereka mengaburkan sejarah yang sebenarnya dan membuat masyarakat awam terjebak dengan kebohongan yang mereka lakukan. Hal demikian juga diungkapkan oleh salah satu aktor budaya yaitu Diki Chandra, ia menilai fenomena ini bisa saja muncul karena romantika kejayaan masa lampau, lebih jauh ia menilai bahwa adanya kasus ini bisa dilihat sebagai otokritik terhadap masyarakat dan pemerintah sendiri dalam pengelolaan yang berkaitan dengan budaya.

Nampaknya apa yang dikatakan kang Diki sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ajip Rosidi. Ia melihat bahwa makin kesini urusan kebudayaan menjadi persoalan yang kurang lagi diminati oleh masyarakat dan kurang di apresiasi oleh pemerintah. Dalam bayangannya kebudayaan daerah akan semakin habis dikikis zaman, dan punah karena dilupakan.

Memang fenomena yang terjadi hari ini seperti menjadi anti klimaks dari pernayataan Ajip Rosidi, tetapi jika dibedah secara lebih mendalam justru ramalan Ajip mau tidak mau kita akui memang sedang terjadi. Generasi muda tidak kenal dengan budayanya sendiri, sehingga ketika isu kerajaan ini mencuat, sedikitnya mereka pun sama-sama tidak paham atas penemuan solusi dari masalah ini.

Disinilah pemerintah harus ada dan hadir sebagai pemberi solusi, dan disinilah peran kementrian pendidikan dan kebudayaan yang dipegang oleh Nadiem harus bekerja. Ya, kebudayaan adalah satu hal penting yang tidak boleh luput dan harus diurusi oleh Nadiem.

Memang semenjak terpilih menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan Nadiem seolah menjadi oase di tengah kekeringan atas inovasi dan kreasi di dunia pendidikan. Ia hadir dengan membawa ide-ide progresif khususnya dalam pendidikan, misalnya soal penghapusan ujian nasional, perampingan birokrasi, dan pengurangan beban administrasi guru terutama soal pembuatan rencala pelaksanaan pembelajaran (RPP).

Ya, Nadiem juga diharapkan oleh banyak pihak untuk mengembangkan integrasi teknologi dalam pendidikan, riset, dan peningkatan mutu pendidikan di mata internasional. Namun, satu hal yang sampai saat ini belum saya dengar secara lantang adalah gagasannya dalam aspek kebudayaan.

Padahal jika kita menelaah esensi dari pendidikan itu sendiri adalah kebudayaan. Setidaknya hal demikian yang dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan karena ia merupakan ruh dari pendidikan itu sendiri. Sehingga Tilaar dan Herlambang menambahkan bahwa jika pendidikan yang jauh, lepas, dan tidak didasari oleh budaya hanya akan menghasilkan manusia yang tanpa identitas.

Pendidikan yang berkebudayaan adalah suatu keniscayaan. Itulah pendidikan yang kita perlukan saat ini. Pendidikan bertugas untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan sehingga pendidikan nasional dapat menghasilkan manusia Indonesia yang seutuhnya.

Lantas, jika persoalan kebudayaan kini terseok-seok, terbengkalai, ditinggalkan generasi muda, apa yang bisa diharapkan dari pendidikan nasional kita? Tentu salah satu yang bisa dihasilkan bukan manusia Indonesia yang bermoral, tapi yang amoral. Maka tidak heran jika tindakan tercela makin menjadi sampai hari ini.

Nadiem perlu melihat permasalahan kebudayaan kita sebagai pokok persoalan yang sangat urgen. Saya bisa memahami kapabilitas dirinya dalam sisi teknologi, sehingga untuk hal tersebut saya tidak merisaukannya lagi. Tetapi dalam problematika budaya, saya kira ia harus menggalinya lagi lebih dalam sehingga persoalan kebudayaan bisa ditemukan jalan keluarnya.

Sampai saat ini saya masih menanti gebrakan apa yang akan dirumuskan oleh Nadiem utamanya soal kebudayaan kita. Tentu dengan adanya fenomena kebudayaan ini bisa membuka tabir kelam soal belum tertata baiknya kondisi kebudayaan kita, dan kedepannya budaya kembali lagi menjadi ruh dari pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun