Kita sudah tahu bahwa belakangan ini kabar tentang kerajaan baru berkembang dimana-mana. Mereka seketika bermunculan bak laron di kala hujan. Misalnya ada kerajaan Agung Sejagat, Sunda Empire, dan klaim kerajaan lain. Semua silih berderet memasuki gelombang pemberitaan di berbagai media sosial.
Lalu sebeneranya fenomena macam apa yang kini tengah terjadi? Saya melihat bahwa hal ini tidak terlepas dari kebudayaan. Ya, klaim-klaim yang digunakan oleh mereka kebanyakan bertolak dari corak kebudayaan yang kental. Sebagai contoh Sunda Empire, mereka berdalih bahwa adanya mereka adalah sebagai pewaris dari kejayaan kerajaan Padjadjaran, dan juga ada untuk menjaga budaya dan kestabilan dunia.
Beberapa pakar budaya jelas melihat ini sebagai problematika budaya yang tidak bisa dianggap sepele. Pasalnya bisa saja mereka mengaburkan sejarah yang sebenarnya dan membuat masyarakat awam terjebak dengan kebohongan yang mereka lakukan. Hal demikian juga diungkapkan oleh salah satu aktor budaya yaitu Diki Chandra, ia menilai fenomena ini bisa saja muncul karena romantika kejayaan masa lampau, lebih jauh ia menilai bahwa adanya kasus ini bisa dilihat sebagai otokritik terhadap masyarakat dan pemerintah sendiri dalam pengelolaan yang berkaitan dengan budaya.
Nampaknya apa yang dikatakan kang Diki sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ajip Rosidi. Ia melihat bahwa makin kesini urusan kebudayaan menjadi persoalan yang kurang lagi diminati oleh masyarakat dan kurang di apresiasi oleh pemerintah. Dalam bayangannya kebudayaan daerah akan semakin habis dikikis zaman, dan punah karena dilupakan.
Memang fenomena yang terjadi hari ini seperti menjadi anti klimaks dari pernayataan Ajip Rosidi, tetapi jika dibedah secara lebih mendalam justru ramalan Ajip mau tidak mau kita akui memang sedang terjadi. Generasi muda tidak kenal dengan budayanya sendiri, sehingga ketika isu kerajaan ini mencuat, sedikitnya mereka pun sama-sama tidak paham atas penemuan solusi dari masalah ini.
Disinilah pemerintah harus ada dan hadir sebagai pemberi solusi, dan disinilah peran kementrian pendidikan dan kebudayaan yang dipegang oleh Nadiem harus bekerja. Ya, kebudayaan adalah satu hal penting yang tidak boleh luput dan harus diurusi oleh Nadiem.
Memang semenjak terpilih menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan Nadiem seolah menjadi oase di tengah kekeringan atas inovasi dan kreasi di dunia pendidikan. Ia hadir dengan membawa ide-ide progresif khususnya dalam pendidikan, misalnya soal penghapusan ujian nasional, perampingan birokrasi, dan pengurangan beban administrasi guru terutama soal pembuatan rencala pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Ya, Nadiem juga diharapkan oleh banyak pihak untuk mengembangkan integrasi teknologi dalam pendidikan, riset, dan peningkatan mutu pendidikan di mata internasional. Namun, satu hal yang sampai saat ini belum saya dengar secara lantang adalah gagasannya dalam aspek kebudayaan.
Padahal jika kita menelaah esensi dari pendidikan itu sendiri adalah kebudayaan. Setidaknya hal demikian yang dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan karena ia merupakan ruh dari pendidikan itu sendiri. Sehingga Tilaar dan Herlambang menambahkan bahwa jika pendidikan yang jauh, lepas, dan tidak didasari oleh budaya hanya akan menghasilkan manusia yang tanpa identitas.
Pendidikan yang berkebudayaan adalah suatu keniscayaan. Itulah pendidikan yang kita perlukan saat ini. Pendidikan bertugas untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan sehingga pendidikan nasional dapat menghasilkan manusia Indonesia yang seutuhnya.
Lantas, jika persoalan kebudayaan kini terseok-seok, terbengkalai, ditinggalkan generasi muda, apa yang bisa diharapkan dari pendidikan nasional kita? Tentu salah satu yang bisa dihasilkan bukan manusia Indonesia yang bermoral, tapi yang amoral. Maka tidak heran jika tindakan tercela makin menjadi sampai hari ini.