Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ada yang Hilang

15 Oktober 2019   08:19 Diperbarui: 15 Oktober 2019   08:30 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, seperti yang terekam dalam ingatan. Perjumpaan antara kita bisa begitu mudah terjadi. Tiap kali, tiap hari kita sering bertemu, bercakap, dan tukar pikiran tentang segala hal, tentang segala ketidaktahuanku, kebodohanku. Ada kalanya aku bertanya tak jelas, penuh kerancuan. Pikiranku memang terkadang melanglangbuana pada hal yang tak banyak dipikirkan orang.

Ketertarikanku akan sebuah kalimat tanya itulah yang membawa pada hasrat penggalian ilmu pengetahuan. Aku tahu dari beragam pertanyaan yang berseliweran, tak akan mendapat jawaban pasti jika tak ditanyakan. Setelah beberapa lama memendam rasa penasaran, setelah lelah berdiam diri tanpa jawaban, lalu, engkau datang, merengkuhku dari jurang kenistaan yang menenggelamkanku dalam keputusasaan.

Aku tahu, engkau, sejak pertama kali kita bertemu, sejak pertama kali dibentakmu, sejak pertama kali di omelimu, itu semua kau lakukan demi muridmu yang pandir ini dan selalu menjadi beban pikiranmu. Tetapi sungguh, setelah lama aku berpikir, cukup lama, tentu karena kebodohanku, aku sadar itu semua adalah untuk kebaikan.

Lalu aku, setelah lama tak lagi mendapat jatah kelas untuk bertemu denganmu, jujur, itu menjadi tamparan keras yang menimbulkan penyesalan, juga rindu. Dan kemudian, aku lagi-lagi, menjadi sendiri, menyimpan tanya tanpa jawaban, menyesali kebodohan. Memang dulu, bahkan sampai saat ini, aku masih saja bahagia melakukan hal yang sia-sia. Maaf.

Beberapa lama dan sesekali pada akhirnya, kita hanya bertemu sering karena tidak sengaja. Engkau, seperti ceritamu, suka sekali berdiam, merenung, berkarya, ditempat kau bisa mendengar suara alam, agak jauh dari kebisingan khas perkotaan, ya kantin. Sampai aku melihatmu memang sering duduk ditemani segelas kopi, membaca dan menulis, dengan membawa segala kebodohan, aku datang untuk bertanya padamu, meminta pencerdasan.

Kulihat dan kurasa responmu, pada si anak bodoh ini begitu ramah dan bersahabat. Jelas, engkau, dari cerita yang kemudian sering kudengar dari perbincangan kita di kantin itu memberikan secercah harap bagi aku untuk terlepas dari kedunguan ini, sedikit demi sedikit, melalui proses yang panjang. Rasa takzim yang lalu tertanam pada benaku hingga sekarang.  

Kebiasaanmu berdiam di tempat itu, kantin, sejak lama aku tiru, dengan harapan agar selalu bisa berjumpa denganmu, tatkala engkau selesai memerdekakan pikiran murid-muridmu dan mengistirahatkan diri lewat secangkir kopi hitam kesukaanmu. Benar saja, setiap kali aku berdiam disitu, pada jam-jam tertentu kau memang datang, juga menyapaku, dan tentu itu adalah waktu yang tepat bagiku untuk kembali mengganggumu dengan beragam pertanyaanku.

Proses itu berlangsung dari hari ke hari, sampai menjadi kebiasaan. Ya, aku selalu menunggumu di kantin, berharap kau datang dan menyapaku, lalu kita kembali bertukar pikiran dan membicarakan ini itu. Sering juga aku berkeluh kesah tentang masalah pribadi yang sebenarnya tidak penting. Tetapi lagi-lagi kau selalu menanggapinya dengan ramah.

Ya, waktu memang terus berjalan, engkau dan aku sama-sama melaju dalam arus peradaban. Kini, engkau menjadi lebih sibuk, cita-citamu untuk menjadi seorang cendikiawan membawa hasrat belajarmu menjadi lebih menggeliat. Ia membawamu sedikit lebih renggang denganku, belajar lagi pada bidang yang kau senangi, tentu untuk alasan kemanusiaan.

Dari meja kantin ini aku hanya bisa berharap, jarak yang kini membentang, waktu bertemu yang kini renggang, semoga bisa membawamu menggapai cita-citamu, membawa perubahan atas keprihatinanmu akan kondisi bangsa ini. Semoga, do'aku disini selalu menyertaimu. Namun jujur, aku merasakan kehilangan seorang guru dan sahabat yang selalu mengomeliku, menuntutku agar tak lelah belajar, dia yang mendorongku untuk terus berkembang.

Memang, ada sesuatu yang hilang dalam kebiasaan, sesuatu yang berharga dan bernilai, walaupun dimata orang hanya sebuah hal remeh temeh, namun bagi seorang yang bodoh ini, hal sesederhana itu sungguhlah amat berguna. Pada akhirnya, kembali lagi, hanya do'aku yang terbaik untukmu, raihlah cita-citamu, selalu tebarkan kebaikan. Dan, nanti tentu saja, semoga ada lagi waktu untuk kita untuk berjumpa, karena, ya di meja kantin ini, aku selalu menunggumu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun