Dibalik jendela kereta, aku melihat dengan jelas, tanpa halangan, tanpa dusta, tanpa hoax, tanpa tipu daya. Mataku membelalak selebar--lebarnya, mencoba melihat segala realita yang ada dihadapanku. Aku seolah tak percaya dengan apa yang kulihat. Aku terhanyut dalam suasana hati yang campur aduk.
Dibalik jendela kereta, mataku memandang mengawasi, seolah tak ingin ada satu momenpun yang terlewat. Sesekali aku memejamkan mata dan menahan nafas, sambil dalam hati aku bergumam astagfirullah! Aku melihat banyak sekali, amat banyak kebohongan yang kudengar selama ini.
Dibalik jendela kereta, aku melihat kenyataan. Kemiskinan rupanya masih menggerogoti negeriku, bangunan-bangunan kumuh yang tepat berjejer di pinggir rel kereta seolah menjadi bukti.Â
Bukan hanya satu atau dua, tak mampu aku menghitungnya, mungkin jumlahnya ratusan, ribuan, bahkan jutaan. Pikirku melayang kemana--mana, membanyangkan kondisi seperti ini terdapat pula dari  ujung ke ujung negeriku.
Darahku tekesiap, mataku semakin terbelalak, tatkala aku melihat anak--anak yang masih usia sekolah. Mereka malah berkeliaran dijalan, tepatnya dipalang pintu kereta. Dengan muka lusuh, sembari menunggu kereta lewat, kepada pengguna motor dan mobil mereka menawarkan koran, rokok, tisu, dan kopi. Mereka bekerja!
Semakin berkerut dahiku, mencoba melihat lebih detail, malahku melihat ada juga anak yang mengemis dibawah pangkuan ibunya, mengamen dengan alat seadanya, mengelap-elap kaca mobil, dan hal lain yang membuat hatiku teriris. Aku semakin tak percaya.Â
Mana yang katanya sekolah murah? Mana sekolah untuk semua? Dimanakah itu wajib belajar 9 tahun? Aku sadar sekarang, itu semua hanya sekedar jargon!
Dibalik jendela kereta, dari kejauhan aku juga melihat gunung--gunung yang dulu hijau, gunung yang dulu rimba, gunung yang dulu banyak ditanami tumbuhan kini menjadi usang, tak elok dipandang.Â
Pikiranku merasakan keanehan, setahuku gunung itu banyak ditanami pohon,  namun apa yang terjadi  sekarang? Memang aneh, gunung itu kini malah banyak ditanami beton!
Kadang inginku bertanya, "Gunung, apa kau tidak marah dengan yang dilakukan manusia kepadamu?". Aku hanya mampu membayangkan jawaban gunung dengan murkanya jika ia mampu berbicara, "Awas saja, akan kubalas semua perbuatan biadabmu terhadapku!".
Tanganku hanya mampu mengusap--usap jendela kereta yang kutumpangi ini. Dengan meratap aku membayangkan kondisi negeriku berserta segala yang ada didalamnya tengah dalam kondisi yang buruk. Seketika aku termenung. Seolah semua yang kulihat dibalik jendela ini adalah pembuktian atas ketidaktahuanku atas kondisi negeriku sendiri.