Masih dalam suasana yang kurang begitu mengenakan. Para dedengkot kaum proletar tetap dihinggapi perasaan nestapa. Kegagalan mereka dalam memanfaatkan momentum KKN guna merengkuh dambaan hati nampaknya membawa dampak besar bagi mereka. Salah satu yang paling kentara adalah dengan membuat mereka murung.
Nada tawa dan canda seolah lenyap dari pribadi mereka. Ical yang semula selalu tampak ceria kini menjadi lebih sering pulang dan mengurung diri di kosan. Biasanya setelah lepas jam kuliah, ia bertengger paling awal di kantin belakang kampus, tentunya sambil ngopi dan memandang asrama. Tak jauh berbeda pula dengan Dede, ia pun lebih sering cepat pulang, berbeda saat sebelum KKN, yang kala itu ia dikenal sebagai satpam saking betahnya di kampus. Sama dengan Ical Dede kini lebih memilih langsung tancap gas dibanding nongkrong.
Dan Wahyu, ya, ia sama juga seperti Ical dan Dede. Wajahnya muram murung masam. Saat ini tertawa seolah menjadi hal yang mahal baginya. Padahal sudah jamak dikenal bahwa Wahyu orang yang gemar tertawa. Namun lagi-lagi, KKN sepertinya besar atau kecil membawa nurturant effects sehingga mampu merubah psikologi mereka.
Lama kelamaan tentu imbas dari perubahan perilaku mereka mengundang teman-temannya yang lain untuk mulai bertanya. Misalnya saja Bale, sudah cukup lama agaknya ia tidak mengobrol dengan Ical dan Dede. Mungkin dua minggu setelah KKN, bahkan lebih, ia pun tak begitu ingat tepatnya. Klimaksnya pertanyaan dari kader KIMBERLI akhirnya dibahas saat mereka kebetulan tengah berkumpul di selasar masjid.
"Pada kemana ya kamerad Ical, Dede sama Wahyu? Ko sekarang jadi jarang keliatan di kampus?" Tanya Roy membuka topik pembahasan
"Gak tau nih, udah lama gua juga nggak ngopi bareng mereka" Ivan menambahkan
"Tapi emang sih kayanya ada yang beda sama mereka, dari tingkah dan sikap pun ko nggak biasanya" Ujar Izal
Bursh berada juga dalam perkumpulan itu. Sebagai Komodor KIMBERLI tentu ia sadar bahwa memang ada yang tidak beres dengan Ical, Dede, dan Wahyu. Ia pun mafhum bahwa dengan tidak adanya kehadiran mereka membuat kesimbangan dan kesetimbangan dalam struktur KIMBERLI menjadi agak terganggu. Bagaimanapun kehadiran mereka, sebagai fraksi dari kaum proletar tidak boleh dinafikan keberadaannya dalam forum dan organisasi.
Setelah mengehela nafas panjang Bursh pun kemudian berkata
"Oke, para kamerad yang saya hormati, memang saya patut akui dan pahami, bahwa ada dari beberapa kader kita yang kelihatannya cukup berbeda dari biasanya, baik itu secara estetis maupun etis. Tentu sebagai organisasi yang berdaulat yang berasas kekeluargaan, hal yang terjadi pada kader kita itu tidak boleh sama sekali kita abaikan, dekati, ayomi, itu tugas kita, sebagai kader KIMBERLI yang humanis"
Mendengar sabda yang dikatakan oleh pimpinannya secara tegas dan gamblang tentu membuat naluri solidaritas dari para kader menjadi muncul dan menggebu. Mereka pun paham bahwa tatkala permasalahan mendera teman, sudah sepatutnya dan seyogiayanya mereka bergerak dan menunjukan empatinya lewat aksi nyata, yaitu berinteraksi dan melakukan langkah-langkah persuasi.
Pertama-tama Ivan, Vey, Agi, dan Izal coba menunggui Ical di depan ruang kelasnya. Niat mereka jelas, mengajak Ical untuk ngopi di kantin. Sambil bersabar mereka menunggui Ical keluar kelasnya. Vey sesekali mendongkak ke kaca jendela kelas. Ia melihat di dalam Ical duduk di kursi belakang paling pojok, ia tampak tidak memperhatikan materi yang tengah dijelaskan oleh dosen. Kepalanya tertunduk dengan posisi tangan menggemgam gawai, dalam pantauan Vey, Ical malah sibuk memainkan gawainya, mungkin ia bermain game. Setidaknya asumsi Vey didasarkan pada posisi gawai Ical yang miring.
Vey lekas menginformasikan hasil intaiannya pada Agi, Ivan dan Izal
"Kode merah, Booyah!" Ujar Vey
Izal mengerenyitkan dahi, ia lupa makna kode pesan yang disampaikan Vey. Maklum pada saat pematerian intel saat pendidikan ia malah tertidur. "Maksudnya apaan Vey?" Tanya izal
"Eh lu sih tidur pas materi intel, maksudnya target nggak merhatiin dosen, sibuk main game Zal!" Jawab Agi ketus
"Coba deh gua liat ya!" Ivan kemudian mulai mendekati jendela, niat Ivan yaitu untuk mengonfirmasi hasil pengintaian Vey, perlahan lahan sambil berjinjit ia dekati jendela, kemudian ia berjongkok sambil memegang kayu jendela, sesaat kemudian ia mengangkat tubuhnya perlahan, sampai garis matanya lurus melihat dari kaca jendela ia mulai mengamati.
Dari kejauhan Agi dan Vey mewanti-wanti Ivan supaya berhati-hati, tentunya agar intaian mereka tidak disadari Ical. Pengamatan Ivan nyatanya memang mengonfirmasi keabsahan info dari Vey, Ical memang tidak memperhatikan pelajaran. Namun tidak lama, masih saat Ivan sedang mengamati, tanpa diduga pandangan Ical sontak mengarah ke arah jendela. Ivan jelas kaget, ia khawatir Ical melihat kearahnya.
Ivan agak terpelanting saking kagetnya. Apalagi dari dalam terdengar Ical suara Ical "Bu, maaf izin ke toilet". Kalimat itu semakin membuat Ivan panik tak karuan. Secepat kilat, bahkan dengan merangkak agar tidak ketahuan, ia mengayuh kaki untuk mendekati Agi, Vey dan Izal sambil berkata
"Mayday mayday, target coming out!"
"Hah?" Tanya Izal
"Target coming out!" Bisik Ivan dengan panik
"Ngomong apaan sih?" Izal masih tak paham
"Kabur!" Suara Ivan agak keras
Sontak para ikhwan mistis paham dengan kata yang diucapkan Ivan. Dengan gopoh-gapah mereka segera melarikan diri, menjauh, dan bersembunyi agar tidak diketahui Ical. Niat mereka untuk mengajak Ical ngopi terpaksa batal. Tentunya ini karena mereka salah strategi, Ivan paham, harusnya mereka tidak mengintai berlebihan seperti itu.
Di tengah kegagalan yang menimpa rencana Agi, Vey, Ivan dan Izal. Bale dan Bursh menunjukan pendekatan yang berbeda dalam menjaring Dede dan Wahyu. Mereka melakukan upaya psikologi kepribadian. Mereka paham sebelumnya kalau Dede dan Wahyu gemar sekali menyanyi, bahkan mereka tau siapa biduan yang diidolakannya. Ya mereka sama-sama suka koplo. Dan akan bergoyang kalau suara kendang sudah keluar dari sound system.
Maka disiapkanlah strategi yang mereka sebut sebagai operasi jaring koplo. Pertama Bursh meminta Babe dan Mou untuk menyiapkan seperangkat Sound system, lengkap dengan Micnya. Kedua Bale melakukan Lobyying kepada ibu kantin untuk perizinan tempat. Setelah keduanya siap, Bursh menginstruksikan menjemput Wahyu dan Dede di kelasnya. Tugas ini berikan kepada Iman, Duls dan Roy.
Tepat saat jam mata kuliah habis, Wahyu ditunggui di depan kelasnya oleh Duls, sementara Dede oleh Babe dan Iman. Awalnya mereka menolak untuk diajak, namun dengan ajakan dan alasan mereka akhirnya turut ikut juga. Saat perjalanan mereka mulai mendekati kantin, tepatnya ketika masih berjalan di lorong kelas, terdengar oleh Wahyu dan Dede sayup-sayup alunan musik.
"Dag demmm, dag Demmm, Tuk tak tak dem dem" Begitu kira-kira yang mereka dengar.
Semakin lama berjalan, musik yang terdengar juga makin jelas. Malahan kini liriknya mereka sangat hapal.
"Cendol dawet, cendol dawet, cendol dawet, cendol cendol, dawet dawet, seger!"
Namun itu semua belum ada apa-apanya ketika Wahyu dan Dede benar-benar sampai di kantin. Hal yang paling membuat mereka menohok dan sampai tergagap adalah saat mereka melihat seseorang yang bernyanyi disana, terlihat mantap dengan Mic dalam genggaman. Ya, pandangan mereka tidak salah, itu Yai Izan.
Wahyu dan Dede sampai terheran-heran. Mereka tidak menyangka bahwa Yai Izan juga suka koplo. Bahkan dengan pede menyanyi dihadapan para akhwat kampus. Terlihat seperti memalukan, tapi dalam kacamata Dede dan Wahyu hal ini cukup menghibur meski agak rancu. Namun tetap, dibalik semua itu Wahyu dan Dede kagum juga takzim.
Apalagi saat Yai Izan secara tegas menyebut nama Wahyu dan Dede untuk mendekat dan bernyanyi bersama
"Wahyu Dede, sini nyanyi barengan!" Ajak Yai Izan
Wahyu nampak kaget "Malu Yai"
"Halah sini cepet"
Tangan Wahyu dan Dede kemudian diseret oleh orang yang membuatnya tambah heran dan kaget. Ya, itu Ical! Ia datang dari ruang kelas, berlari, saat mendapat informasi Yai Izan sedang menyanyi, dan itu koplo. Ical lekas mengambil mic yang disodorkan oleh Bursh. Sambil mengikuti irama musik ia mulai berdendang, seolah lupa atas segala beban pikiran yang selama ini mengganggunya
"Yo semuanya, cendol dawet piro? lima ratusan! terus? gapake ketan! ji ro lu pat enam pitu wolu, tak kintang kintang jeger! tak kintang kintang jeger!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H