Andai aku bisa bicara tentu akan kuluapkan segala kegundahan hati yang tengah ku alami. Kepada tuanku tentu saja, seorang pelajar. Mulanya ia adalah murid yang polos, lugu, dan bahkan tergolong kikuk. Ya, itulah masa--masa dimana ia baru memasuki SMA. Waktu itu aku amat bangga padanya. Ia kerap mendapat juara kelas, juara lomba ini itu, sikapnya ramah dan rajin beribadah, ia anak yang berprestasi.
Tuanku, dulu tak pernah sekalipun absen dari bangku persekolahan, ia rajin, Â disiplin, pekerja keras. Tuanku, ia membanggakan orang tuanya, teman -- temannya, sekolahnya, bangsanya. Namun itu dulu, saat ia masih bisa kubanggakan, saat ia masih sering mengajaku ke tempat yang suci, saat ia masih menjadi tuanku yang dulu.
Kini keadaan telah berbalik, ironis, sungguh aku malu padanya. Walaupun aku hanya sebuah seragam, apakah tidak boleh aku malu ? Apakah tidak boleh aku kecewa, apakah tidak boleh aku menangisinya ? Tuanku, ia bukan lagi tuanku yang kukenali, ia berubah, entah menjadi siapa, aku seolah asing padanya.
Itu bermula saat ia pertama kali mulai mengenal cinta. Ia terlalu berekspektasi besar kepada cinta, ia terlalu mengagungkannya, mendewakannya. Ya, seperti yang sudah kuduga dan kukhawatirkan, hubungan itu takkan bertahan lama. Ia dikecewakan. Inilah momentum perubahan besar pada jati dirinya yang membuatku tak lagi bisa membanggakannya.
Kekecewaannya itu membawanya masuk ke depan gerbang dunia yang amat gelap. Pergaulan bebas menjadi keseharian barunya. Pulang malam menjadi rutinitas yang tak boleh terlewatkannya. Ia mulai jarang membawaku ke tempat peraduannya lagi, ia mulai menutup kitab yang sering dibacanya itu. Ia meninggalkannya.
Aku yang hanya sebuah seragam sekolah hanya bisa melihatnya terjermus ke dalam jurang kejumudan itu. Inginku mencegahnya, melarangnya, menasehatinya, namun apa daya, aku hanya seragam sekolah. Rasa kecewa tadi sudah kadung membuat semua jalan pikirannya kabur dan rusak. Ia melampiaskan keputusasaanya itu pada sesuatu yang salah.
Aku sering diajaknya bolos sekolah. Sudah jarang aku dibawanya ke pepustakaan sekolah. Amat jarang. Kini aku lebih akrab dengan suasana warung kopi, suasana warnet, suasana tawuran jalanan dan kekerasan, dibanding dengan suasana sekolah, suasana kelas. Jalan hidupnya tak lagi jelas. Menjadi bias, ia semakin jauh dari jatidirinya, ia semakin mengasingkan diri, teralienasi.
Sedih. Lama-lama ia mulai membawaku juga ke tempat yang sama sekali tak kuinginkan. Ia berkumpul bersama teman--teman barunya. Ya, sembunyi--sembunyi ia mulai mencoba meminum minuman haram itu. Sungguh kecewa. Aku menangis, air mata mengairi seluruh rona wajah, aku hanya tertunduk lesu. Meratapi nasib malang yang harus diterima tuanku ini.
Aku sebagai simbol pendidikan, kaum terpelajar dan moralitas tak lagi digubrisnya. Ia tak malu sama sekali mengajaku di jalan kegelapan. Aku terpaksa menyaksikan kebengisannya kini. Tuanku, andai aku bisa bicara, maka akan kusampaikan semua keresahan dalam hati ini. Namun, lagi dan lagi, aku hanyalah sebuah seragam sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H