Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyambut Generasi Muda yang Berbudaya

2 April 2019   20:10 Diperbarui: 2 April 2019   20:31 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Joko_Narimo

Kadang kala ketika kita bicara soal budaya tak jarang akal dan pikiran kita terpaut pada sesuatu yang usang dan jadul. Tak jarang pula ketika mendengar kata budaya jiwa dan hati kita terpatri pada kekunoan yang hakiki. Sering kali kita menanggap budaya adalah artefak dari dunia yang telah tiada. Sering kali kita beranggapan bahwa budaya bak makanan basi yang telah kadaluwarsa.

Akal kita terkadang hanya mampu menafsirkan sedangkal dan sesempit itu. Kita terlalu beranggapan bahwa budaya adalah segala sesuatu warisan turun temurun dari zaman dahulu. Kita juga sering beranggapan bahwa budaya adalah kebiasaan kolot. Akal kita telah terdoktrin ideologi yang memandang bahwa budaya adalah suatu kekuperan yang sejati. Ketika akal dan hati kita telah tertanam ideologi sekeji itu, maka lahirlah seorang manusia yang berpikiran dangkal dalam memahami dan memaknai budaya.

Sejak dini kita terlalu sering dicekoki tentang pemahaman budaya yang salah. Hal samapun kita dapat di sekolah, kita terlalu banyak melahap materi dan teori yang berkenaan dengan budaya tanpa seseorang yang mampu membimbing. Entah sudah berapa banyak konsep - konsep budaya yang telah merasuk kedalam otak kita, namun terkadang tak mampu membuat hati kita tersentuh dalam mencitai budaya.

Modernisasi yang kian menggurita makin memperkeruh suasana. Ia melahap segala sendi kehidupan di muka bumi. Ia ibarat malaikat maut yang begitu mengerikan dan mematikan. Apalagi terhadap budaya, ia melumatnya sampai ke akar - akarnya. Mental dan karakter kebudayaan kita yang lesu dan lemah tentu menjadi santapan empuk modernisasi. Kita bak seekor rusa di padang sabana yang tengah di incar oleh seekor harimau.

Kita tentu tidak ingin berada di posisi rusa tadi, dimana batas antara hidup dan mati telah berada di ujung tenggorokan. Kita tidak boleh berada di posisi 50 : 50 yang mana hidup dan matinya ditentukan oleh keberuntungan. Ingatlah pepatah "sepandai pandainya tupa melompat pasti akan jatuh juga". Kita tidak boleh terlena dan terperdaya oleh tipu muslihat modernisasi yang penuh unsur kapitalisasi juga di dalamnya.

Tidak dapat kita nafikan bahwa modernisasi pun membawa perkembangan bagi kehidupan umat manusia. Kita tidak dapat menafikan bahwa modernisasi banyak memabawa kebaikan bagi dunia. Kita juga dapat memahami bahwa tanpa modernisasi hidup ini hanya akan stagnan. Hidup tanpa modernisasi bagai taman tak berbunga.

Lalu, siapakah orang yang mampu berperan besar sebagai pelestari kebudayaan dan dan mampu juga hidup di alam modernisasi ini ? Apakah mungkin ada makhluk seperti itu di muka bumi ini ? Siapakah dia ? Dalam lubuk hati yang paling dalam dan berdasarkan analisa paling logis, kita tidak dapat memungkiri bahwa peran itu berada dipundak para pemuda.

Jelas sekali peran pemuda disini amat vital. Tak ayal memang kita berpikir bahwa pemuda adalah orang yang paling tepat mengemban amanah suci ini. Pemuda adalah tangan dan kaki peradaban, roda kehidupan, dan pelestari kebudayaan. Pemuda adalah orang yang paling layak kita nobatkan sebagai pewaris tahta dan harta yang bernama kebudayaan.

Pemuda adalah orang yang tak kenal rasa takut, ideologinya tahan banting, kebal, dan murni. Pemuda bergerak atas rasa kemanusiaan, pemuda melawan atas dasar kepedulian, pemuda mati dibawah panji kebenaran. Pemuda adalah orang yang berpikir dengan keadilan, berucap dengan kemuliaan, dan bertindak dengan kecerdikan.

Pemuda dan budaya tak dapat dipisahkan. Pemuda dan budaya ibarat sepasang kekasih yang saling mencintai, dimana hanya maut yang mampu menjadi jurang pemisah diantara keduanya. Hubungan pemuda dan budaya adalah hubungan mutualisme, dimana tidak ada pihak yang dirugikan. Jalinan kemesaraan antara pemuda dan budaya adalah dimana ketika pengorbanaan telah menjadi suatu keniscayaan. Mereka saling memberi tanpa berharap menerima.

Keterangan diatas bukanlah utopia belaka. Kita harus meyakini akan tiba masanya para pemuda yang rindu pada kebudayaan, gandrung pada kebudayaan, dan cinta pada kebudayaan. Memang pemuda kekinian tengah terombang ambing dalam lautan kebimbangan dan kelinglungan. Mereka dibuat mabuk laut oleh keadaan yang menderanya. Pemuda kita kini tengah di uji, mereka tengah di perdaya dengan segala tipu muslihat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun