Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolahnya Alien

23 Maret 2019   14:14 Diperbarui: 23 Maret 2019   14:31 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Ribastank

Apa gunanya belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja.

Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:

"Di sini aku merasa asing dan sepi".

Potongan sajak seonggok jagung dari W.S Rendra ini menjadi gambaran nyata mengenai realita pendidikan saat ini. Baik dari tingkat dasar sampai tinggi, kenyataan bahwa siswa maupun mahasiswa mengalami pengasingan diri dari realitas sekitarnya adalah hal yang tak bisa lagi dielakan. Banyak dari mereka yang menjadi jauh dari kehidupan bermasyarakat di daerahnya. Jarang bergaul, dan jarang bertegur sapa dengan masyarakat. Bermetamorfosa menjadi sosok yang individualis.

Pendidikan banyak dikeluhkan karena masih belum mampu mewujudkan cita-citanya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Makna cerdas ini tentu saja bukan sekedar dalam pikiran, namun juga dalam perasaan dan perbuatan. Mungkin secara pikiran banyak dari masyarakat kita yang cerdas, tetapi itu tidak bebanding lurus dengan cerdas secara perasaan dan perbuatan. Maka tidak heran tindakan amoral malah justru banyak dilakukan oleh mereka yang notabene sudah mengecap bangku sekolahan.

Tindakan amoral ini selanjutnya mengarahkan para murid menjadi manusia yang penuh kegamangan. Ini bukan saja menjadi salah murid semata. Sekolah menjadi salah satu aktor utama yang menyebabkan mengapa tindakan ini kian menjamur. Sekolah terlalu berfokus kepada penekanan terhadap ketuntasan materi ajar untuk disampaikan kepada murid, sehingga meninggalkan esensi proses pembelajaran.

Murid dijejalkan dengan segudang materi, mereka dipaksa melahapnya bulat-bulat karena itu nanti yang akan muncul pada saat ujian, dan guru pun harus segera menuntaskan materi jika tidak ingin materi hari berikutnya tidak tersampaikan. Keadaan ini yang selanjutnya membuat murid terperangkap pada zona yang disebut Freire sebagai kesadaran naif. Mereka banyak tau tentang segala hal namun minim aksi dan kemauan untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Inilah yang dimaksud oleh Rendra sebagai keterasingan para pelajar dalam masyarakat. Betapa banyak sebetulnya lulusan sekolah kita, baik dari tingkat dasar sampai tinggi. Ironinya, mengapa dengan seperti itu mereka masih belum bisa membawa perubahan bagi masyarakatnya ? Tentu banyak hal yang melatarbelakangi hal ini. Salah satunya adalah akibat pola pendidikan yang anti-dialogis.

Pola pendidikan seperti ini yang menyebabkan murid hanya menjadi objek pasif dalam pembelajaran. Mereka diposisikan sebagai manusia yang polos dan kosong. Sedangkan guru adalah manusia serba tahu, dan bahkan tak jarang tidak boleh dibantah.

Atas dasar ini pula Freire mengatakan bahwa murid pada akhirnya akan terjebak pada sikap fatalis, yang suka berputus asa, menghamba pada kekuasaan dan enggan untuk berubah. Hasil dari pola pendidikan macam begini yang membuat bangsa kita akan terus tertinggal jauh dari negara lain.      

Pendidikan yang kontekstual dengan kehidupan murid tentu perlu dihadirkan dalam pembelajaran, itu akan memberikan pengalaman yang lebih bermakna bagi mereka. Tentu saja dari pola interaksi dalam pembelajarannya sendiri perlu menerapkan prinsip demokrasi dan dialogis. Membiasakan murid untuk berani menyampaikan ide dan gagasannya.

Freire juga menambahkan, untuk membangkitkan gairah murid untuk bisa melek terhadap masalah dimasyarakat, maka realitas sekitarlah yang perlu dijadikan objek dari pembelajaran. Dengan begitu, murid dapat memperoleh sensitifitas terhadap lingkungannya dan membangkitkan rasa untuk mau merubahnya.

Sudah seharusnya pola pendidikan dan sekolah kita menghasilkan manusia yang sejati, dalam arti ia memiliki kecakapan hidup yang mumpuni sesuai potensinya dan mampu menebarkan manfaat kepada lingkungan sekitarnya. Jangan sampai sekolah malah menjadi pabrik pencetak murid rasa alien, yaitu murid yang asing, murid yang tak dikenal, dan jauh dari kehidupan masyarakatnya sendiri.

Mata rantai alienasi murid harus segera dihapuskan, tidak boleh hasil pendidikan kita adalah orang yang enggan untuk berbakti dan merubah masyarakatnya. Kita perlu para pemikir baru yang giat dan mau berjuang memajukan bangsanya, buka para pemikir yang hanya pintar tetapi ogah-ogahan dalam melakukan pembenahan dan pembaharuan di masayarakat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun