Murid pada akhirnya akan teralienasi dari kehidupan nyatanya. Sekolah menjadi lembaga eksklusif yang menghambat murid untuk mengenal kondisi masyarakatnya sendiri.Â
Kemunculan buku guru dan buku siswa juga semakin mempertegas posisi sekolah hanya sebagai alat pemerintah yang tidak mandiri. Sekolah dan guru kini hanya menjadi pelaksana kurikulum, bukan lagi sebagai perancang dan pengembang.
Sekolah menjadi menjemukan dengan kenyataan tersebut, minm substansi karena dengan perannya yang hanya sebagai pelaksana kurikulum membuat sekolah dan guru sekedar menjadi penyampai ilmu pada proses pembelajaran.Â
Sekolah bukannya bertindak sebagai tempat yang mencerdaskan secara akal dan moral, sekolah malah tak jarang membuat murid menjadi ogah - ogahan karena hanya tersusun dengan pola belajar - ujian, belajar - ujian dan begitu seterusnya.
Minimnya inovasi sekolah untuk membuat pola pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan murid menjadi alasan utama sekolah mandek dan tidak mampu menghasilkan output yang berkualitas.Â
Sekolah harus segera berbenah, sebelum ramalan Everet Reimer yang menulis buku "Matinya Sekolah" itu dapat terbantahkan dan dihindari. Kuncinya terletak pada pemberian kewenangan secara mandiri kepada sekolah untuk mengembangkan pola pendidikannya sesuai dengan konteks murid dan daerahnya.
Menumbuhkan hawa demokrasi di sekolah juga penting dilakukan, membuat sekolah sebagai rumah kedua murid yang nyaman, aman, dan membahagiakan. Sekolah harus membuat murid senang dan betah, sehingga mereka dapat belajar dalam suasana yang damai dan dengan begitu mampu juga mengembangkan minat dan bakatnya secara optimal. Jangan sampai sekolah menjadi rumah yang tak dirindukan. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H