Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan yang Membisukan

23 Februari 2019   17:40 Diperbarui: 23 Februari 2019   17:59 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Jamf.com

Nilai luhur pendidikan sebagai sarana pencerdasan adalah keniscayaan yang tidak bisa dibantahkan. Tujuan mulai pendidikan berorientasi pada perkembangan akal budi manusia mencapai kesejatian. Ini berarti pendidikan berfokus pada upaya mengkonstruksi dan memproduksi manusia-manusia yang unggul secara pikiran, perasaan, dan perbuatan.

Secara futuristik para founding fathers kita sejak dahulu kala telah mempunyai pemikiran tentang bagaimana manusia yang sejati itu dapat terwujud. Di antara langkah strategisnya tidak lain yaitu melalui pendidikan. Lantas pendidikan macam apa yang mereka maksud tersebut ? Tentu pola pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan yang mampu mengeksplorasi minat dan bakat siswa dibalut dengan kebudayaan bangsa sehingga tercipta sosok manusia berakhlak mulia yang beradab lagi berkebudayaan.

Dalam mewujudukan tujuan pendidikan tersebut maka yang perlu dilakukan adalah dengan merevitaliasi pola pendidikan menjadi manusiawi, dalam konteks sekolah hal ini memiliki arti bahwa guru perlu memberikan kemerdekaan kepada murid untuk aktif dalam pembelajaran, bebas mengungkapkan argumen, gagasan, dan ide - idenya. Namun melihat fakta yang tejadi dilapangan, kita masih saja kerap menemukan sekolah yang berisi hawa otoriter disana sini.

Murid dalam sekolah hanya dijejalkan berbagai macam ilmu bahkan tanpa mereka ketahui manfaatnya untuk apa. Hal miris lain yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, khususnya sekolah adalah betapa lemahnya kemauan murid untuk aktif dalam pembelajaran. Ini kembali lagi kepada terlalu superiornya peran guru di dalam kelas. Bukan hanya superior, bahkan guru terkadang bisa bertindak layaknya preman yang seringkali membuat murid ketakutan ketika berada di kelas dan sekolah.

Berkat kesalahan pola pendidikan seperti ini, akhirnya membawa suasana pembelajaran di dalam kelas menjadi menegangkan lagi mencekam. Murid takut untuk bicara, takut menjawab pertanyaan, bahkan sampai takut datang ke sekolah. Mereka menjadi bisu. Kenyataan ini jelas berbahaya, baik bagi pendidikan nasional dan masa depan murid itu sendiri.

Guru terkadang bertransformasi menjadi tukang jagal yang memutus kreativitas dan bakat siswa. Sosok guru menjadi salah satu aktor utama penentu berhasil tidaknya suatu pendidikan. Di tangan merekalah nasib generasi muda bangsa dipertaruhkan. Atas didikan merekalah karakter generasi muda bangsa bagaimana, dan juga masa depan bangsa mau dibawa kemana.

Berkaca kembali pada realita yang terjadi, yaitu murid begitu enggan untuk aktif di dalam kelas, sehingga pendidikan bisu lah yang terjadi, maka sudah barang tentu para stakeholder pendidikan berefleksi, terutama guru. Jelas akan berbahaya jika aura pendidikan bisu tetap dibiarkan berkembang. Tentu itu akan menghambat pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Lebih parah lagi, pendidikan bisu hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang lemah, tak berkemauan, dan pasrah ketika tertindas. Manusia hasil dari pendidikan bisu tidak akan bisa banyak memberikan perubahan yang berarti bagi masyarakat. Terlebih lagi mereka hanya akan dijadikan komoditas oleh hegemoni kapitalisme sebagai budak korporasi.

Silent education merupakan bahaya laten yang harus segera dipikirkan jalan keluar pembenahannya. Jika kultur seperti ini terus dibiarkan berkembang, bukan tidak mungkin akan mengantarkan bangsa ini menemui titik kehancurannya. Sebaliknya kita memerlukan pola pendidikan yang menyenangkan dengan juga mampu mengembangkan minat dan bakat siswa secara optimal.

Tentu upaya ini dapat dilakukan dengan langkah yang sangat sederhana, yaitu dengan merubah pola pembelajaran menjadi demokratis dan dialogis. Kita harus segera membumihanguskan pola pendidikan yang bernuansa menakutkan bagi murid. Pendidikan yang diupayakan adalah seperti yang dikatakan Freire, yaitu pendidikan yang sebagai upaya pembebasan, baik itu dari ketidaktahuan, ketidakmampuan, dan dari pembelengguan.

Kita harusnya mendengar kritikan keras Ivan Illich yang berbunyi  "Descholling society" sebagai peringatan agar jangan sampai karena tidak adanya pembenahan terhadap kualitas pendidikan, murid menjadi memandang pendidikan sebagai hal yang tidak perlu, mengerikan, dan membatasi dirinya. Apalagi mereka sampai memandang sekolah sebagai "Lembaga yang membisukan".     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun