Bagi sebagian orang televisi telah menjadi perangkat utama sebagai media pemerolehan informasi dan hiburan. Televisi memang sudah cukup lama berperan untuk memberikan edukasi terhadap masyarakat yang menarik dan inovatif. Selain itu televisi dianggap murah karena tentu tidak perlu membayar ini itu terkecuali hanya membayar tagihan listrik tiap bulannya.
Daya pikat televisi tersebut nyatanya membuat masyarakat betah menikmatinya. Walaupun sekarang internet telah merajai segala jenis bidang penyebaran informasi dan hiburan, namun peran televisi masih belum tergantikan. Hal inilah yang kemudian membuat industri pertelevisian makin maju, alih - alih gulung tikar.
Inovasi program televisi disesuaikan pula dengan perkembangan zaman guna mengimbangi selera masyarakat, baik itu dalam segi konten, tampilan, maupun program acaranya. Tetapi kadang kala ada hal yang sering dilupakan oleh industri televisi dalam upaya inovasinya itu, diantaranya seperti dampak sosial, kepatutan konten, dan unsur edukasi yang minim.
Pernyataan di atas bukan sekedar tuduhan, ini sejalan dengan hasil survei KPI pada tahun 2018 yang menyatakan bahwa masih terdapat banyak program televisi berada pada zona dibawah standar dengan nilai kurang dari 3.00.Â
Rapor merah tersebut harusnya menjadi bahan evaluasi setiap insan pertelevisian dalam membuat program yang berkualitas dan tidak hanya mementingkan urusan rating semata.
Paradigma industri televisi perlu untuk direkonstruksi kembali, pasalnya bukan hanya satu atau dua perusahaan televisi yang mendapat rapor merah tadi. Hampir semuanya mendapat nilai dibawah standar. Terutama terhadap program infotainment dan sinetron. Keduanya mendapat nilai buruk dari hasil survei KPI dengan nilai masing - masing 2.20 dan 2.28.
Percaya atau tidak dampak yang ditimbulkan dari masih rendahnya kualitas tayangan televisi membuat para pemirsa khususnya remaja dan anak - anak terpapar pengaruh negatifnya. Seperti menirukan adegan - adegan yang romantis yang kelewat batas dalam sinetron, menonton percecokan dan mengumbar masalah pribadi dalam acara reality show.
Hal diatas tentu akan berimbas lebih jauh pada rusaknya moral generasi muda. Memang perihal itu tidak bisa hanya menyalahkan pihak pertelevisian saja, lemahnya pengawasan orangtua pun patut disalahkan. Namun baiknya tentu saja pihak pertelvisian mampu menganalisa program mana yang akan memberi dampak baik bagi pemirsanya sebelum ditayangkan.
Jika ditelisik lebih jauh mengapa pihak pertelevisian masih saja bandel dengan menayangkan program tidak berkualitas, tentu kita akan menemukan banyak faktor didalamnya, mulai dari soal rating, omset, kebutuhan pasar, dan daya pikat program. Faktor - faktor tadi yang kemudian malah meminggirkan tujuan utama dari televisi sendiri yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari sini maka perlu ditekankan kembali soal perlunya refleksi mengenai tujuan utama dari televisi beserta langkah pelaksanaannya agar tidak menyimpang seperti sekarang ini. Jelas ini bukan hal mudah dan akan lama agar terwujud, karena ini menyangkut soal kesamaan visi dan misi dari banyak pihak yang terlibat didalamnya.
KPI sebagai lembaga yang bertugas untuk mengatur jalannya industri televisi harus bersikap tegas dan independen dalam menjalani tugasnya menjadikan televisi kembali pada tujuan awalnya.Â
Tidak lupa, masyarakat pun perlu menjadi pengawas industri televisi seraya memberikan kritik dan saran. Perhatian semua pihak menjadi penting untuk mewujudkan indutrsi televisi nasional yang kreatif, edukatif dan bermartabat. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H