Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Cinta Memang Tak Kenal Usia, tapi Masa Bocah "Mamah Papahan"

1 Januari 2019   12:16 Diperbarui: 1 Januari 2019   19:28 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Tribunnews.com

Pada satu waktu, ketika suasana santai nikmat dirasa, kesempatan merebahkan tubuh yang lelah atas segala pekerjaan yang menumpuk paling afdhol jika dilampiaskan dengan duduk nyaman, ditemani segelas kopi sambil melihat hiruk pikuk kehidupan dunia maya. 

Rasa lega terkena terpaan hawa sejuk pagi hari menambah kekhidmatan momen santai kali ini.

Banyak hal yang ditemui tatkala melakukan penetrasi di dunia maya. Mulai dari akun yang riuh menjajakan dan promo barang jualan, bermanja ria pada keindahan suatu objek, update quotes bijak, sampai yang jamak ditemui adalah update soal cinta dan kegagalan cinta. 

Ya, itulah dunia maya, memang tak ada tatap muka secara langsung, tapi untuk menilai karakter atau kepribadian seseorang, sedikitnya kita bisa melihat dari postingannya di media sosial.

Sampai di sana ketentraman suasana santai masih nikmat dirasai. Cukup lama berlalu lalang di alam maya, kemudian rasa santai yang tentram itu mulai terusik. Hal yang mengusik itu tak lain adalah postingan dari salah satu akun di media sosial yang isinya begini "Papah jahat, Aku gak percaya lagi sama papah!". 

Sekilas memang terkesan seperti postingan biasa tentang percekcokan dalam rumah tangga. Tapi tunggu dulu, kejanggalannya justru terdapat pada foto profil akun pengunggahnya itu.

Setelah ditelisik lebih jauh, welah dalah, lahhh kok? Kejanggalan itu nyatanya memang mengarah pada sebuah ironi. Ya, hasil penelusuran itu bermuara pada fakta bahwa akun yang mengunggah postingan itu adalah seorang bocah kelas 4 SD. 

Didorong oleh rasa kepo yang terlanjur menyeruak, saya kembali melakukan olah TKP secara lebih mendalam, dan hasilnya, OMG ironi kedua has been detected.

Penyelidikan itu membawa pada fakta kedua bahwa memang orang yang dituju oleh si pengunggah ini adalah kekasihnya yang sama-sama masih duduk di kelas 4 SD. Keterangan kelas ini saya peroleh secara jelas dari unggahan mereka yang lain tatkala menggunakan seragam putih merah dengan bet kelas bertuliskan 4-A. Penyelidikan saya lanjutkan lebih dan lebih mendalam, lagi- lagi hasilnya saya menemukan lebih dan lebih lagi ironi. 

Mulai dari unggahan foto berduaan, tentunya dengan caption penuh pengharapan mulia bernada "Semoga langgeng yah mah <3 :* :*". Layaknya Romeo dan Juliet, perempuannya kemudian membalas postingan itu dengan menge-tag pasangannya. Dengan mengucap istighfar seraya mengelus dada, saya beranikan membaca balasannya itu yang berbunyi "Sayang kamu, gamau pisah, kamu miliku, aku milikmu <3 <3".

Satu lagi penelusuran saya lakukan, kali ini dengan melihat friendlist mereka. Dan ya, seperti dugaan awal, teman mereka pun yang notabene masih SD melakukan hal yang tidak jauh berbeda pula. Cukup sampai di sana penelusuran saya. Sambil menegakan posisi duduk, kemudian meneguk segelas kopi terfikir di kepala "Anak sekarang kok gini amat pergaulannya".

Bukan tanpa alasan, kemajuan teknologi yang tidak dibarengi dengan edukasi dan kemampuan literasi teknologi/digital ternyata membawa dampak yang amat berbahaya. 

Tentu jika adab anak-anak jika dibiarkan terus begitu saja akan membawa pada hal yang disebut sebagai pendewasaan dini. Seperti yang dikhawatirkan Neil Postman, bahwa teknologi jika tidak dibarengi edukasi akan membuat perilaku anak-anak menjadi seperti orang dewasa secara instan.

Memang sejak teknologi belum berkembang pun ada saja anak-anak setingkat SD yang berperilaku seperti kasus di atas, namun jelas itu tidak semasif sekarang di zaman teknologi bisa diakses secara leluasa. 

Tidak elok, melihat realitas generasi muda, apalagi setingkat SD yang jika menurut Piaget masih berada di tahap operasional konkrit sudah melakukan hubungan asmara layaknya orang dewasa.

Dari kasus anak -anak yang sudah menjalin asmara ini, kelak muncullah satir yang sangat nahas namun faktanya memang benar, bunyinya "Anak Jepang cuma bisa bikin manusia buatan, lah anak Indonesia udah jago bikin manusia beneran". Hal kecil dengan membiarkan anak-anak melakukan hubungan asmara yang mana itu masih jauh dari kapasitasnya, akan berdampak dikemudian hari menjadi satu bentuk kelakuan yang lebih nahas lagi.

Ini sejalan dengan data BKKBN yang disadur oleh Okezone.com, menyebutkan bahwa pada tahun 2013 sebanyak 20,9 persen remaja Indonesia hamil di luar nikah. Tentu ini bukanlah angka yang sedikit. 

Bahkan ini mengarah pada tindakan yang lebih tercela lagi. Seperti dilansir Tirto.id berdasarkan data BKKBN dan Pusat Studi Kependudukan dan kebijakan UGM pada tahun 2016, menunjukan bahwa sebanyak 58 persen remaja putri yang hamil di luar nikah memilih melakukan aborsi.

Penelusuran iseng yang dilakukan di awal rupanya jika didalami lebih jauh rupanya membawa permasalahan ini kepada hal yang lebih pelik dan ironis lagi. Intinya adalah, perilaku anak yang menyelami hubungan asmara akan membawa dampak kelak di kemudian hari pada hal yang jauh lebih berbahaya. 

Tentu dalam konteks anak-anak, peran vital untuk menjaganya dari pengaruh negatif penggunaan teknologi berada pada pundak tri-sentra pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Terutama keluarga sebagai sentral utama pendidikan bagi anak harusnya menjadi penyaring dan pembimbing bagi anak untuk mengembangkan karakter terpujinya. Apalagi di era perkembangan teknologi seperti sekarang ini, keluarga juga perlu menjadi model bagi anak sebagai masyarakat digital (digital citizenship) yang baik seraya mengajarkan pada anak, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh atau belum boleh dilakukan.

Lelah dengan semua fakta menyedihkan yang ditemui, lantas terpikir di kepala "Waduh, baru inget kalau ponakan juga punya akun medsos". Dari situ, suasana duduk di kursi jadi tidak nyaman, pun keringat dingin mulai terasa. Lantas pencarian akun media sosial keponakan saya pun akhirnya dimulai "Nah ketemu juga!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun