Selasar masjid menjadi tempat yang adem sekaligus khidmat untuk melakukan percakapan santai maupun bernada serius. Celotehan - celotehan berlimpah gelak tawa pun seringkali menghiasi suasana selasar masjid, baik itu dengan suara samar - samar, sampai ledakan yang memekakan seluruh area masjid, seolah mencerminkan gambaran dari jalan kehidupan yang penuh riuh rendah.
Perkumpulan demi perkumpulan terjadi secara natural, tanpa rencana, tanpa wacana, dan tanpa kabar berita merupakan keseharian bagi para penghuni kampus selepas melaksanakan shalat berjam'ah. Rasa lelah, letih, dan lesu selepas kuliah terbebaskan hanya dengan sebuah perkumpulan tanpa narasi, ngalor - ngidul, apalagi secara sistematis ini.
Topik yang sering dijadikan tema dalam setiap perbincangan tak lain adalah soal urusan dinamika kehidupan kampus, baik itu menyangkut tugas mata kuliah, uang kuliah, masalah kampus, sampai pada topik primadona yaitu soal pola pergerakan para mahasiswi di kampus, atau sering disebut sebagai "Pergumulan Bibit Unggul".
Berawal dari kesamaan naluri, insting, dan mungkin pemikiran, menandai rekonstruksi arah dari setiap perbincangan yang terjadi. Keterarahan ini membuat berbagai macam elemen serta spesies manusia yang sering hadir pada setiap pertemuan nir-formal itu menyatakan sikap bahwa perbincangan ini mesti mempunyai wadah independen demi ketersaluran informasi yang lebih mudah dan intens.
Sebelum pernyataan sikap itu terlontar patut diketahui bahwa mulanya manusia - manusia itu hanyalah sekumpulan mahasiswa yang doyan bermunajat (Berusaha Mencuri Pujian Akhwat) katakanlah demikian, di selasar masjid. Mungkin juga diselangi dengan tukar informasi soal tugas dan problematika kampus, dan yang lebih shaleh mungkin sambil membaca beberapa ayat kitab suci. Dari perbincangan yang hanya diisi tak lebih dari 3 orang, seiring berjalannya waktu, dan seiring panasnya topik yang dibahas, perbincangan kaleng - kaleng itu bertransformasi menjadi suatu gerakan sosial yang memiliki struktur dan arah pergerakan yang transformatif lagi futuristik.
Sebagai gerakan sosial yang telah eksis, tentu diperlukan nama untuk menunjukan ke"ada"annya itu. Badan Intelejen Masjid atau akrab disebut BINMAS merupakan nama yang diambil sebagai representasi pergerakan. Intelejen dimaknai laksana hembusan angin, ia tak terlihat namun terasa. Filosofi itu didasarkan pada langkah gerak BINMAS yang tidak perlu nampak dipermukaan, asal perannya dapat dirasakan. BINMAS bukan soal pengakuan tapi soal kebermanfaatan.
Ihwal kata masjid adalah bentuk representasi pergerakan BINMAS yang berasal dari masjid sebagai tempat yang suci. Ini memiliki makna bahwa BINMAS melakukan pergerakan dimulai dari hati yang suci dan pikiran yang jernih demi ketercapaian tujuan atas dasar yang halalan thayibban. Dengan berisikan manusia - manusia setengah manusia yang mencoba menjadi manusia seutuhnya, menjadikan setiap dialektika yang terjadi terjalin secara progresif dan pada akhirnya membuktikan pengaruhnya pada lingkungan di sekelilingnya.
Struktur yang terbentuk jelas masih prematur dan tanpa ketua. Struktur intinya antara lain, Sekjen, Intelejen, Keahkwatan, dan Humas dengan jumlah anggota dewasa dan anggota muda pilihan yang terbatas. Awal dari pengaruh BINMAS yang meluas dalam berbagai sektor ini selanjutnya membawa arus pergerakan menjadi lebih dinamis atau bahkan berayun lebih kencang. Silang pendapat antar anggota atau lebih tepat dikatakan perang argumen yang terjadi secara nahas membawanya pada pokok permasalahan yang semakin menggunung. Inilah yang menjadi tonggak perpecahan antara dua belah pihak yang kelak disebut sebagai Ikhwan mistis.
Hahhh ? Ikhwan mistis ? Siapakah gerangan ? Spesies makhluk seperti apakah dia ? To Be Continued!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H