Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana dalam menciptakan manusia yang kreatif dan inovatif. Usaha tadi jelas memandang bahwa manusia sebagai subjek didik yang mempunyai potensi serta kemampuan.
Sudah menjadi fitrah manusia sebagai makhluk yang bisa di didik dan mendidik. tentu hal tadi berkaitan juga dengan upaya manusia itu sendiri dalam mempertahankan eksistensinya. Dalam sejarah peradaban manusia kita dapat melihat perkembangan manusia dari yang dulu masih tradisional hingga kini menjadi manusia modern.
Perkembangan manusia tadi tentu tidak lepas dari upaya pendidikan yang menjadikan manusia semakin cerdas dan haus akan ilmu pengetahuan. Pendidikan juga menjadikan manusia mau berfikir keras, menciptakan sesuatu yang baru dan mempertahankan eksistensi kemanusiaannya.
Dalam pendidikan formal tentu upaya pencerdasan juga menjadi fokus utama. Mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang kreatif, inovatif dan bermoral merupakan tujuan pendidikan formal. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tentu menjadi harapan besar dalam menciptakan manusia - manusia yang kreatif.
Sekolah merupakan ranah pengembangan minat dan bakat peserta didik sesuai keinginannya. Sekolah juga menjadi taman dan laboratorium peserta didik dalam mengekspresikan, mengeksplorasi dan menempa potensi yang dimilikinya. Sekolah adalah suatu tempat dimana peserta didik menenmukan jati dirinya dan menentukan akan menjadi apa mereka kelak.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang memperlakukan peserta didik secara manusiawi. Sekolah tidak mencederai hakikat kemanusiaan peserta didik dengan segala kebijakan yang mencerabut rasa kemanusiaan peserta didiknya.
Lalu bagaimanakah potret sekolah saat ini ? apakah sekolah mampu mengahantarkan peserta didik mengembangkan potensinya ? apakah sekolah mampu membuat peserta didik menemukan jati dirinya ?
Dewasa ini sekolah tak lebih daripada sebuah penjara. Ya, sekolah adalah penjara yang mengerangkeng kebebasan dan mencerabut harkat kemanusiaan peserta didik. Sekolah juga telah mengkhianati tujuannya sebagai lembaga yang bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sekolah mematikan daya nalar dan kreatifitas peserta didik. Sekolah tidak mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai tempat dimana peserta didik mengembangkan potensinya. Pembelajaran yang monoton niscaya hanya menbuat peserta didik diam dan membisu. Lalu apa bedanya pembelajaran di sekolah dengan nonton bioskop ? Ya, tak lebih dari masuk ke kelas, nonton guru ceramah, kemudian pulang. Paulo Freire menyebutnya dengan "bank system education".
Dari tingkat pendidikan rendah sampai tinggi pun metode pembelajarannya sama. Pendidikan gaya bank yang seperti yang disebut Freire hanya menghasilkan manusia - manusia bisu, rendah nalar dan tidak berkemauan. Manusia yang dihasilkan adalah budak - budak yang hanya patuh kepada atasannya. Dalam pendidikan gaya bank, peran guru bak penjajah yang tugasnya hanya menindas para peserta didik.
Bayangkan bagaimana suasana pembelajaran dikelas yang sepi, senyap, dan menegangkan. Tak berbeda jauh dengan suasana di kuburan!. Para peserta didik ketakutan dan malu untuk sekedar mengungkapkan gagasannya. Sekolah yang tidak mampu membimbing peserta didik untuk rajin belajar dan berani mengeluarkan ide kreatifnya telah gagal menjalankan tugasnya.
Guru yang perannya bagai penguasa yang serba tahu dan otoriter. Guru bagai opsir yang bertugas mendisiplinkan peserta didik ketika hanya berbeda pandangan atau pendapat. Ancaman dengan nilai adalah kuasa guru.
Kini pendidikan hanya dijadikan alat bagi para penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Pembelajaran di sekolah hanya diproyeksikan untuk menghasilkan manusia tanpa nalar, tanpa kemauan, dan tanpa kreatifitas. Mereka belajar disekolah yang ujungnya hanya untuk dijadikan pesuruh penguasa dan buruh dengan upah murah.
Peserta didik harusnya mendapatkan pembelajaran yang mampu mengembangkan kesadaran kritis mereka. Tidak boleh lagi peserta didik hanya terperangkap dalam kesadaran magis.
Dalam pembelajaran guru dan peserta didik seharusnya dipandang sebagai subjek belajar. Maka guru tidak boleh memandang peserta didik hanya sebatas kertas putih yang kosong (tabula rasa) dan guru bebas menuliskan apa saja didalamnya. Peserta didik harus dipandang sebagai kertas putih dan didalamnya tertulis kata - kata yang masih samar. Disanalah peran guru sebagai fasilitator untuk membantu peserta didik menebalkannya.
Baik guru dan peserta didik mereka adalah manusia, oleh karenanya masing - masing pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya. Peserta didik belajar kepada guru dan begitupun sebaliknya. Sedangkan objek belajar adalah realitas sosial. Ya, realitas sosial dimana peserta didik kelak akan juga terjun didalamnya. pembelajaran di sekolah tentu menjadi bekal yang berharga agar peserta didik tidak tenggelam dalam realitas sosial yang carut marut dan lantas mampu survive.
Pembelajaran di sekolah bukan untuk mematikan dan memasung ide kreatif peserta didik, pembelajaran di sekolah baik itu dalam pendidikan rendah maupun tinggi merupakan tempat berkumpulnya manusia - manusia yang merdeka. Pembelajaran di sekolah juga merupakan arena pertempuran ide, kritik dan gagasan. Suasana yang riuh akan kultur dialogis merupakan ciri sekolah yang berisikan manusia merdeka.
Pembelajaran seperti itulah yang seharusnya dilakukan dalam sistem pendidikan nasional kita. Pembelajaran yang mengedepankan rasa kemanusiaan yang merdeka, demokratis serta dialogis adalah suatu syarat mutlak untuk menghasilkan manusia yang memiliki kesadaran kritis, yaitu manusia yang berfikiran luas serta mampu menganalisis sutau permasalahan untuk menciptakan hal baru yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H