Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Wajib Itu Belajar atau Sekolah?

10 Desember 2017   16:22 Diperbarui: 11 Desember 2017   20:42 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar kata wajib belajar mungkin bagi kita sudah menjadi hal yang tak asing lagi. Ya, wajib belajar merupakan salah satu dari sekian banyak dari program pemerintah dalam menciptakan generasi manusia Indonesia yang cerdas, sesuai dengan amanat konstitusi kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Gagasan wajib belajar ini telah disusun secara futuristik oleh para founding fathers kita.

Dikatakan dalam UU Sisdiknas bahwa setiap warga negara dijamin oleh pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mengikuti program wajib belajar selama 9 tahun. Secara yuridis tentu saja setiap warga negara seharusnya sudah terjamin pendidikannya paling tidak sampai tingkat SMP/SLTP, dan juga seharusnya pula terjamin segala keperluan dalam belajarnya.

Anggaran pendidikan yang mencapai 20% APBN , belum lagi dari APBD dan dana - dana lainnya, seharusnya mempermudah terwujudnya cita - cita wajib belajar tadi dalam mencerdaskan kehidupan bagi seluruh warga negara. Dapat dikatakan jika seluruh dana dikelola secara jujur, akuntabel dan profesional sudah barang tentu dana tadi dapat tersalurkan dengan baik pula kepada setiap warga negara yang berhak menerimanya.

Tampaknya usaha wajib belajar tadi hanya sebatas utopia belaka jika kita melihat kenyataanya dilapangan. 72 tahun sejak kemerdekaan nyatanya masih banyak warga negara kita yang masih belum menikmati rasanya belajar 9 tahun. Mereka harus gigit jari, mereka tak sanggup membayar mahalnya harga untuk mengecap program wajib belajar 9 tahun yang ternyata tidak gratis.

 Lalu kemanakah dana APBN dan APBD tadi ? Bukankah seharusnya dapat menjamin program itu bagi setiap warga negara ? lantas bagaimana nasib program wajib belajar itu ? Jawabannya cukup kompleks dan rumit jika kita harus membahasnya, namun singkatnya untuk masalah dana tampaknya ada tangan "setan" yang bermain.

Terkait program wajib belajar ada pertanyaan yang cukup menarik untuk diperbincangkan, adalah apakah yang wajib itu belajar atau sekolah. Penggunaan kata "belajar"  pada program wajib belajar lebih tepat kiranya kita ganti menjadi wajib sekolah, sekolahnya memang wajib tapi disana apakah mereka benar - benar belajar ? wallahu a'lam. Program wajib sekolah 9 tahun lebih tepat daripada wajib belajar, mengingat makna belajar tidaklah sesempit makna sekolah, apalagi hanya 9 tahun. Ki Hajar Dewantara mengatakan belajar itu sepanjang hayat, "minal mahdi ilal lahdi" dalam islam.

Parahnya, program wajib belajar tadi hanya dijamin 9 tahun atau ada juga yang menyatakan 12 tahun, sungguh berbeda jauh dengan negara - negara lain yang konsisten memajukan negaranya lewat pendidikan. Mereka menjamin pendidikan formal para warga negaranya setinggi mungkin dengan menjamin seluruh biayanya dari mulai perlengkapan belajar, akses ke sekolah, SPP sekolah, bahkan uang jajan.

Program wajib belajar yang konotasinya lebih lekat dengan wajib sekolah, dijamin hanya 9/12 tahun atau setingkat SMP dan SMA, dari sisi kualitas tentu masih jauh dari yang diharapkan, belum mampu banyak menghasilkan output manusia - manusia yang berkarakter dan belum mampu berkompetisi di era globalisasi ini, banyak yang kalah berasaing dan akhirnya menjadi sampah masyarakat. 

Anggapan mayoritas masyarakat kita kini memandang bahwa balajar itu berarti sekolah atau kuliah, seseorang dianggap tidak belajar ketika ia tidak pernah mengenyam bangku SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Anggapan lainnya adalah bahwa belajar itu ya disekolah dengan guru, bukan belajar jika kita sedang membantu orang tua dirumah, kerjabakti dengan warga desa, apalagi nongkrong di warung kopi. Jika bukan transfer ilmu pengetahuan namanya bukan belajar, jika tidak membahas matematika, IPA atau IPS namanya  bukan belajar. Sesempit itulah pikiran mayoritas masyarakat kita dalam memandang hakikat belajar.

Meminjam ungkapan Roem Topatimasang "semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah". Wajib belajar artinya menjadikan setiap orang dan tempat yang tepat sebagai sekolah, disana banyak makna mendalam yang juga dapat diperoleh. Wajib belajar seharusnya tidak menjauhkan seseorang dari realitas disekitarnya. Wajib belajar yang kini berlangsung hanya mencecoki seseorang untuk menjadi orang lain sesuai kurikulum dan tuntutan pasar. Sesungguhnya program wajib sekolah 9 tahun yang dicanangkan pemerintah, tidak benar - benar menjadikan seseorang itu belajar.

Sudah keluar jalur! Itu ungkapan yang cocok jika melihat situasi yang terjadi dewasa ini. Jika kita kaitkan dengan realitas dilapangan, tepatkah jika dikatakan Program tadi sebagai wajib belajar atau wajib sekolah ? silahkan pembaca menenetukan jawabannya sendiri. Kebobrokan negeri ini lebih masuk akal jika disebabkan oleh program wajib sekolah dibanding wajib belajar, mengapa ? wajar jika di negeri ini koruptor terus beregenerasi, padahal sekolahnya tinggi - tinggi, maklumlah disekolah mereka belum tentu benar - benar belajar, wajar jika banyak anak sekolahan yang sering tawuran, mencontek bahkan hamil diluar nikah! lho kan padahal mereka itu sekolah ? maklumlah disekolah juga mereka belum tentu belajar. Toh yang mereka pelajari disekolah itu cuma teori saja. Tidak ada pembahasan tentang moral, kalau pun ada ya sama hanya teori saja, tidak sampai mengakar apalagi diamalkan.

Maka harus disadari dan dipahami oleh semua pihak mengenai apa sebenarnya makna dari program wajib belajar itu oleh agar tidak bias menjadi wajib sekolah. Segala perencanaan harus matang baik dari aspek tri-pusat pendidikan yang harus bersinergi dalam menciptakan suasana positif dalam belajar, kualitas guru yang profesional, sarana pra sarana memadai, semua orang bisa sekolah setinggi - tingginya dengan seluruh pembiayaan didalamnya ditanggung oleh pemerintah. Jika semua komponen diatas dapat teratasi. Dengan disertai usaha keras dari seluruh pihak yang terkait, penulis kira program wajib belajar itu akan tercapai secara optimal dan memang layak dilabeli sebagai program wajib belajar.

Referensi :

Topatimasang,  Roem. (2010). Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: Insist Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun