Norma, nilai, dan budaya masyarakat juga turut memengaruhi sikap dan perilaku terhadap pendidikan. Masyarakat yang memiliki kesadaran dan apresiasi tinggi terhadap pendidikan cenderung mendukung dan mendorong anak-anak mereka untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan berkualitas.
Sebaliknya, masyarakat yang memiliki kesadaran dan apresiasi rendah terhadap pendidikan cenderung mengabaikan atau menghalangi anak-anak mereka untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan berkualitas. Hal ini menyebabkan anak-anak yang berasal dari masyarakat yang berbeda memiliki akses dan mutu pendidikan yang berbeda pula. Selain itu, faktor sosial-budaya juga memengaruhi diskriminasi dan stereotip terhadap kelompok-kelompok tertentu, seperti perempuan, minoritas, atau penyandang disabilitas, yang menyebabkan mereka memiliki akses dan mutu pendidikan yang lebih rendah daripada kelompok-kelompok lain.
Ketimpangan akses dan mutu pendidikan ini memiliki dampak yang negatif bagi perkembangan individu, masyarakat, dan bangsa. Ketimpangan ini menghambat potensi dan bakat anak-anak untuk berkembang secara optimal, mengurangi kesempatan dan mobilitas sosial mereka, serta menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakadilan sosial. Ketimpangan ini juga menghambat pertumbuhan dan kemajuan ekonomi, politik, dan budaya bangsa, serta mengancam stabilitas dan integrasi nasional.
Dalam mengkaji secara kritis sosiologi pendidikan, beberapa langkah strategis dapat diidentifikasi untuk meningkatkan efektivitas sistem pendidikan secara keseluruhan. Pertama, diperlukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan alokasi dan distribusi anggaran pendidikan agar bersifat adil dan merata. Hal ini harus mempertimbangkan kebutuhan dan prioritas setiap daerah dan kelompok sosial.
Selanjutnya, upaya perlu difokuskan pada peningkatan kuantitas dan kualitas sekolah, guru, dan sarana prasarana pendidikan. Terutama, perhatian khusus harus diberikan pada daerah-daerah yang terpencil, terisolasi, atau sulit dijangkau. Ini mencakup langkah-langkah strategis untuk memastikan bahwa pendidikan berkualitas dapat diakses oleh semua, tanpa terkecuali.
Selain itu, untuk mendukung keluarga miskin atau berpenghasilan rendah, diperlukan kebijakan yang memberikan bantuan dan insentif. Beasiswa, bantuan langsung tunai, subsidi, dan langkah-langkah lainnya dapat menjadi sarana untuk memastikan bahwa biaya pendidikan tidak menjadi hambatan bagi anak-anak dari lapisan masyarakat yang kurang mampu.
Agar masyarakat lebih menghargai peran pendidikan, perlu dilakukan upaya sosialisasi, advokasi, dan edukasi. Keterlibatan partisipatif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, swasta, LSM, media, tokoh agama, dan tokoh masyarakat, menjadi kunci dalam menciptakan kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan.
Dalam rangka mencapai inklusivitas, penting untuk menghapuskan diskriminasi dan stereotip terhadap kelompok-kelompok tertentu, seperti perempuan, minoritas, atau penyandang disabilitas. Perlakuan yang sama dan adil, bersama dengan upaya pemberdayaan dan perlindungan hak-hak mereka, harus menjadi fokus utama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif.
Terakhir, untuk menjawab tuntutan zaman, perlu dilakukan peningkatan terus-menerus pada relevansi dan mutu kurikulum, metode, dan evaluasi pendidikan. Fokus harus diberikan pada pengembangan keterampilan dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan individu dan tantangan zaman. Dengan demikian, langkah-langkah ini bersama-sama membentuk fondasi untuk transformasi positif dalam dunia pendidikan, mengarah pada masyarakat yang lebih berpendidikan dan inklusif.
*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H