Bagaimana pendapat anda tentang judul tulisan di atas, atau jika ada yang bertanya, bolehkah menjadi Pelakor?, apa jawaban anda? pasti anda akan menjawab tidak boleh, atau mungkin ada di antara anda yang menggerutu, pertanyaan apa ini?, karena sudah pasti yang namanya pelakor itu tidak diperbolehkan, dosa dan lain sebagainya.
Saya harap para pembaca yang baik hati jangan kesal atau marah dulu. Sebenarnya judul tulisan di atas sama halnya dengan penggalan lirik lagu dangdut yang dinyanyikan oleh Siti Badriah yang berjudul Melanggar Hukum.
Di lagu tersebut terdapat beberapa penggalan lirik lagu yang menurut saya hampir sama maknanya dengan judul tulisan ini. Penggalan lirik lagu tersebut yaitu sebagai berikut:
"apakah aku telah melanggar hukum, bila mencintai suami orang lain"
Kira-kira jika anda ditanya dengan pertanyaan seperti syair lagu di atas, apa yang akan anda jawab?. Saya yakin pasti anda juga akan menjawab hal yang sama dengan jawaban atas pertanyaan pada judul tulisan saya ini.
Secara umum di Negara kita, kata Pelakor pasti merujuk pada suatu akronim yang berkonotasi terhadap perilaku negatif. Tapi saya minta anda tidak terlalu terburu-buru memberikan anggapan negatif hanya dari membaca judul tulisannya saja, coba luangkan waktu anda untuk membaca seluruh isi tulisan ini dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Dalam pandangan saya, bisa saja menjadi seorang Pelakor itu diperbolehkan. Apakah anda setuju?
Perebut Lelaki Orang (Pelakor)
Istilah yang satu ini merupakan kepanjangan dari Pelakor yang paling diketahui banyak orang pada umumnya dan kalau Pelakor dalam arti Perebut Lelaki Orang, saya pun pasti sama dengan anda untuk mengatakan tidak boleh menjadi Pelakor seperti ini.
Saya sendiri tidak mengetahui dengan pasti kapan istilah Perebut Lelaki Orang (Pelakor) ini muncul dan dikenal banyak orang di Indonesia serta siapa yang pertama kali memulainya.
Kalau tidak salah istilah ini mulai dikenal di media sekitar tahun 2017, dan menjadi semakin terkenal saat muncul video seorang artis perempuan berinisial JD yang didatangi oleh anak dari Sarita Harris dengan tuduhan bahwa artis tersebut telah merebut ayahnya dari kehidupan rumah tangga ibunya. Bahkan sejak video tersebut viral, sang artis sampai dijuluki sebagai Pelakor oleh sebagian masyarakat.
Istilah Pelakor yang artinya Perebut Lelaki Orang ini bahkan pernah viral di Korea pada tahun 2020 yang lalu. penyebabnya adalah ketika dalam Serial Drama Korea yang berjudul The World of the Married, ada karakter perempuan bernama Yeo Da Kyung (diperankan oleh Han So Hee) yang digambarkan sebagai seorang gadis 24 tahun yang menjadi selingkuhan pria beristri.
Akibat aktingnya yang memukau dan membuat penonton sampai terbawa arus ceritanya, sehingga banyak dari netizen Indonesia yang memberikan komentar pedas di Instagram pribadi milik Han So Hee, dan kata yang paling banyak disebut adalah Pelakor. Sejak itulah, kata Pelakor menjadi viral di Korea.
Sebenarnya istilah Pelakor ini menurut saya agak mirip dengan istilah WIL atau Wanita Idaman Lain, namun istilah pelakor ini terdengar terlalu kasar terhadap perempuan.
Dalam KBBI, kata merebut diartikan sebagai merampas; mengambil secara paksa barang milik orang lain. Sehingga kata perebut atau orang yang merebut dapat diartikan sebagai orang yang mengambil barang atau hak milik orang lain dengan paksa.
Istilah Pelakor seolah-olah terlalu menyudutkan sosok perempuan sebagai satu-satunya pihak yang bersalah. Padahal dalam kasus perselingkuhan, belum tentu sepenuhnya kesalahan ada di pihak perempuan, sebab terjadinya suatu perselingkuhan pasti karena ada peran kedua belah pihak, baik si perempuan yang menjadi selingkuhan atau si pria yang berselingkuh.
Ada juga istilah yang serupa dengan Pelakor tapi dari sudut pandang Pria sebagai pelakunya, yaitu Perebut Bini Orang (Pebinor) atau Letise (Lelaki Tidak Setia).
Terlepas dari apa pun istilahnya, baik Pelakor, Pebinor, Letise atau siapa pun yang memulai proses merebut atau berselingkuh, yang pasti keduanya sudah tidak setia kepada pasangannya masing-masing.
Bukankah pernikahan merupakan suatu hal yang sakral yang dibangun oleh komitmen bersama kedua pasangan yang menikah. Sehingga baik Pelakor, Pebinor atau Letise merupakan sebuah pengkhianatan terhadap suatu amanah.
Pelakor atau Pebinor bahkan bisa disamakan dengan seorang Koruptor. Mengapa demikian?, karena dalam materi Webinar yang saya ikuti tentang Pengembangan Kapasitas Dosen Anti Korupsi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 7 Oktober 2020, terdapat tiga tingkatan perbuatan korupsi dan tingkat paling dasar terjadinya suatu korupsi adalah adanya betrayal of trust atau pengkhianatan kepercayaan.
Adanya Pelakor dan Pebinor sehingga menyebabkan terjadinya perselingkuhan merupakan bentuk dari pengkhianatan kepercayaan atas komitmen pernikahan yang telah mereka sepakati bersama. Sehingga mungkin tidak salah bukan, kalau kita menganggap bahwa Pelakor atau Pebinor sama halnya dengan Koruptor.
Maka, jika judul dari tulisan saya ini mengacu pada pengertian Pelakor sebagai Perebut Lelaki Orang, tentu saya juga akan menjawab tidak boleh menjadi Pelakor.
Pelaku Korupsi (Pelakor)Â
Kata di atas bisa juga disingkat menjadi Pelakor. Sehingga bila kata Pelakor merupakan kepanjangan dari Pelaku Korupsi, maka saya pun akan menjawab tidak boleh atas kalimat pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini.
Seperti kita ketahui bersama korupsi merupakan kejahatan yang sudah cukup meluas secara sistemik ke semua sektor kehidupan yang ada di negeri ini. Bahkan korupsi bisa digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime.
Berdasarkan data dari Transparancy International, bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2019 ada diurutan 85 dari 180 negara. Skor dari Indonesia sama dengan lima negara lain, yaitu Burkina Faso, Guyana, Lesotho, Trinidad and Tobago, dan Kuwait.
Menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), korupsi di Indonesia selama tahun 2020 telah mengakibatkan kerugian negara mencapai sekitar Rp. 56,7 triliun.
Jadi, jika Pelakor yang dimaksud dalam judul tulisan saya ini mengarah pada arti kata Pelaku Korupsi, maka saya pun tentunya akan menjawab tidak boleh menjadi Pelakor.
Pecinta Lagu Korea (Pelakor)
Jika istilah Pelakor yang dimaksud adalah Pecinta Lagu Korea, saya akan menjawab boleh menjadi Pelakor.
Lagu-lagu korea sudah cukup lama juga digandrungi oleh masyarakat Indonesia, bahkan bukan lagu-lagunya saja, tetapi juga Dramanya yang banyak disebut orang dengan istilah Drakor.
Sebut saja BTS, Black Pink, Super Junior dan EXO, mereka adalah contoh grup KPop yang memiliki banyak penggemar atau fan base di Indonesia. Bahkan ada juga loh orang Indonesia yang menjadi member dari salah satu grup KPop di Korea, yaitu Dita Karang di Secret Number.
Gara-gara semakin hits nya lagu dan drama Korea, cukup banyak berdampak terhadap trend yang ada saat ini. Mulai dari makanan Korea, kursus bahasa Korea sampai dengan gaya berpakaian dan gaya rambut ala-ala korea atau korean style.
Hanya saja menurut saya, boleh bila kita menjadi Pelakor alias Pecinta Lagu Korea, asalkan kecintaan atau kegemaran kita terhadap lagu korea dan artis yang menyanyikannya tidak terlalu berlebihan, atau bahkan sampai mengagung-agungkannya. Karena sesuatu berlebihan itu tidak baik, bahkan dalam Islam sikap yang berlebih-lebihan itu dilarang, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Maidah ayat 77, yang artinya, "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu".
Tergantung Sudut PandangÂ
Dari semua istilah Pelakor yang saya sampaikan tadi, hanya satu Pelakor yang menurut saya boleh dilakukan, tapi tidak dengan berlebih-lebihan, yaitu menjadi Pecinta Lagu Korea.
Mungkin setelah anda membaca tulisan ini, anda berpendapat tulisan saya kurang memberikan manfaat. Tapi yang ingin saya sampaikan adalah agar kita jangan terlalu terburu-buru menilai sesuatu itu dengan buruk atau negatif. Karena walaupun sesuatu itu biasanya sebagian besar orang memandangnya buruk atau negatif, kita perlu terlebih dahulu melihatnya dari seluruh sudut pandang, bukan hanya dari satu sudut pandang saja.
Bukan kan kita pernah mendengar sebuah ungkapan yang menyatakan, don't judge the book by its cover atau jangan hanya menilai sebuah buku dari cover/jilidnya saja. Belum tentu buku yang anda anggap covernya jelek dan tidak menarik, isinya juga tidak jelek dan tidak menarik. Sehingga kita perlu membacanya terlebih dahulu.
Begitu juga bila kita melihat atau dihadapkan pada suatu hal atau kejadian, jangan lah kita terburu-buru menilai atau memvonis hanya dari penampilan luarnya saja, tetapi kita perlu melihatnya juga dari sudut pandang lainnya yang mungkin tidak nampak hanya dari penampilann luarnya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H