Mohon tunggu...
Rahman Patiwi
Rahman Patiwi Mohon Tunggu... profesional -

Writer, Trainer, Speaker (WTS) I Praktisi Parenting dan Pemerhati Pendidikan I Fouder KOMUNITAS PARENTING COACH I Penulis Buku METAMORFOSA; Change Your Life, Touch Your Dream (Mizan) I MOTTO: Jangan jadi orang INSTANT yang suka enaknya saja. Jadilah orang INTAN yang sukses karena proses. \r\nJangan lupa berkunjung kembali disetiap kesempatan yang mungkin, karena kami akan selalu meng-update hot artikel dengan spesifikasi khusus dibidang PARENTING dan PENDIDIKAN yang mengubah hidup anak. Salam METAMORFOSA...! I \r\n www.RahmanPatiwi.Com, Mari Bergabung di Komunitas Parenting Coach I \r\n 0823-4415-1480. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sekolah Manusia vs Sekolah Monyet, Hebat Mana? (Part 2, Selesai)

12 Mei 2015   05:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:08 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika anda telah membaca postingan part 1 saya, maka setidaknya anda pasti sudah memiliki sedikit gambaran tentang bagaimana SEKOLAH MONYET, di Thailand itu berlangsung. Sekarang mari bandingkan bagaimana dengan keberlangsungan SEKOLAH MANUSIA itu sendiri, pada umunya.

Agar anda tidak mengira saya mengada-ada dan mencari sensasi semata, maka sebagai pembuka tulisan, ijinkan saya mengutip pengalaman pribadi dan pendapatseorang Professor, Rhenald Kasali, dari www.indonesiamengajar.com, berikut:

“...Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor di luar negeri…

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan kritikan pedas berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah….”

Hmmm…. Hati ini seolah tersayat-sayatsembilu, menyimaknya. Sakit? tentu! Namun dalam kacamata orang bijak, itu tetap di perlukan untuk bisa bercermin. Pertanyaannya mengapa bisa sesuram itu? Yap, jawabnya seperti dikatakan Oleh Pakar Pendidikan Munif Chaib, dalam bukunya “Sekolahnya Manusia,” Bahwa:

Sumber Gambar: @RahmanPatiwi High-light I Dokpri

Belum lagi saat penerimaan siswa baru. Di sekolah-sekolah favorit, nampak begitu gencar melakukan proses tracking dalam seleksi calon siswa. Cenderung hanya menerima yang berkemampuan kognitif diatas rata-rata saja.Bahkan ironisnya, seorang bapak kepala sekolah pernah ditanya, “Pak, bagaimana kalau ada orang yang berkemampuan kognitif rendah, namun tetap bersikukuh mau bersekolah di sekolah bapak?”

Dengan seolah tanpa berdosa sang kepala sekolahpun berkata, “Kami tidak pernah menerima siswa seperti itu, sebab bisa menurunkan rating dan image sekolah pavorit.” Oh my God… Coba bandingkan dengan sekolah monyet di part 1. Khuru Samphorn, tidak pernah membeda-bedakan monyet. Mulai dari monyet jinak, setengah liar, liar, dan liar sama sekali. Semua diterimanya.

Khuru Samphon, juga melakukan penolakan karena pertimbangan kapasitas daya tampung. Tapi dengan cara yang benar-benar berbeda. Yap, siapa cepat siapa lambat. Pertanyaannya, Mengapa Khuru begitu berani? Karena menurutnya, guru sejatinya harus bisa berfungsi sebagai Agen of Change, meski pada monyet sekalipun.Hmmm…. Kalau begitu sekolah siapa sebenarnya yang lebih manusiawi..!!?? Mari kita renungkan bersama.

Sebagai seorang Praktisi Parenting dan pemerhati Pendidikan yang sekaligus juga Pendidik, merasa berat untuk mengakuinya. Tetapi saya tetap harus jujur. Yah…. Merekalah yang lebih unggul. Namun meski begitu, mari terus berbuat yang terbaik untuk bangsa, sekecil apapun itu.Dan, teruslah maju wahai pendidikan Indonesiaku, dengan terus berbenah.

Syukurnya, ternyata kini Sekolah Monyet itu telah di kunjungi juga oleh berbagai petinggi pendidikan. Bahkan oleh organisasi-organisasi pendidikan dunia seperti: UNISCO, UNICEF, ONEC, dan sebagainya, demi untuk membangun konsep pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak manusia. Semoga adanya, Amin….

So, kepada para orang tua, mari maksimalkan peran kita. Tidak hanya berprinsip, “yang penting sudah sekolah.” Tapi tuntunlah mereka untuk menemukan pendidikan yang sesuai dengan kodratnya sebagai anak manusia. Yap, itulah pendidikan yang manusiawi….

Terima Kasih, Semoga Manfaat.

Rahman Patiwi

Inspirator Parendik; Parenting-Pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun