Ara duduk di tepi jendela kamarnya, memandang ke luar dengan tatapan kosong. Di luar sana, langit senja perlahan berubah warna, mencerminkan perasaannya yang kacau. Di dalam hatinya, ada konflik yang tak pernah selesai---antara harapan ayahnya dan mimpi yang ia simpan rapat-rapat.
Ayahnya adalah sosok yang keras dan otoriter. Sejak kecil, ia dan kedua kakaknya dibesarkan dengan aturan yang ketat. Kedua kakaknya telah berhasil memenuhi harapan ayah mereka, meraih prestasi di dunia pendidikan dan menjadi sosok yang dihormati di masyarakat. Ara, anak bungsu dalam keluarga, merasakan beban yang sangat berat. Ayahnya ingin ia mengikuti jejak kedua kakaknya, menjadi guru yang berpendidikan tinggi. Namun, jauh di dalam hati, Ara tahu bahwa itu bukan impiannya.
Yang ia inginkan hanyalah musik. Musik adalah tempat di mana ia menemukan kebebasan, tempat di mana ia bisa mengekspresikan diri tanpa batas. Namun, setiap kali ia mencoba mengungkapkan keinginannya untuk menjadi musisi, ayahnya selalu menolak. "Musik itu bukan masa depan!" seru ayahnya, setiap kali topik itu muncul.
Hari demi hari berlalu, dan tekanan dari ayahnya semakin kuat. Ara sudah mencoba mendaftar ke beberapa universitas seperti yang diinginkan ayahnya, tapi ia selalu gagal. Setiap kali kegagalan itu datang, perasaan putus asa semakin menghimpitnya. Rasanya seperti dinding harapan perlahan runtuh di depannya, membuatnya terperangkap dalam ruang yang sempit dan gelap.
Suatu hari, setelah menerima surat penolakan dari universitas lain, Ara tak bisa menahan air matanya lagi. Ia merasa benar-benar hancur. Ayahnya, yang selalu menuntut kesempurnaan, hanya membuat situasi menjadi lebih buruk. "Kamu ini bagaimana? Lihat kakak-kakakmu! Mereka bisa, kenapa kamu tidak bisa?" bentak ayahnya.
Ara berlari ke kamar, mengunci diri di sana, menangis dalam diam. Satu-satunya orang yang ia rasakan sebagai pelindung adalah ibunya. Ibunya selalu ada, diam-diam memberikan dukungan tanpa banyak kata. Di balik sikap lembutnya, ibunya mengerti betul bahwa Ara berbeda dari kakak-kakaknya.
Malam itu, ketika semuanya terasa begitu berat, ibunya masuk ke kamar Ara dengan perlahan. Ia duduk di samping putrinya yang masih terisak. Tanpa berkata banyak, ia hanya merangkul Ara. Dalam dekapan hangat itu, Ara merasa ada sedikit ketenangan yang menyusup.
"Ibu tahu kamu lelah, Nak," kata ibunya pelan. "Dan ibu juga tahu apa yang kamu inginkan. Tapi terkadang, jalan hidup tidak selalu mudah, apalagi jika kita harus berhadapan dengan orang yang kita cintai, seperti ayahmu."
Ara mendongak, menatap wajah ibunya yang penuh kasih. Wajah tenang dan damai yang selalu memancarkan kasih sayang yang tak terhinggga. "Ibu, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku sudah mencoba, tapi aku tidak pernah berhasil. Dan aku benar-benar ingin mengejar mimpiku di musik, bukan menjadi guru seperti yang ayah inginkan."
Ibunya tersenyum kecil. "Ibu tahu, Nak. Ibu melihat bagaimana kamu selalu bermain gitar di kala senggang, bagaimana matamu berbinar ketika mendengar melodi-melodi baru. Ibu yakin, jika kamu terus berusaha, kamu akan menemukan jalanmu."
"Tapi ayah..." Ara terhenti. Kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa tercekik di tenggorokannya.