Kemiskinan telah menjadi fenomena yang kompleks dan multidimensi, memengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia, mulai dari aspek ekonomi, sosial, hingga budaya. Di Indonesia, tantangan terkait kemiskinan sangat relevan mengingat tingginya kesenjangan sosial yang mencolok antara masyarakat perkotaan dan pedesaan, serta akses yang tidak merata terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi. Dalam konteks ini, aspek budaya sering kali terlupakan, meskipun peranannya sangat signifikan dalam menentukan pola pikir, perilaku, dan pilihan hidup masyarakat.
Berbagai data menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia adalah masalah yang persisten. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2023 berada di angka 9,36%, yang berarti sekitar 26 juta penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Namun, angka ini tidak sepenuhnya mencerminkan akar permasalahan yang lebih dalam, yaitu pengaruh budaya terhadap kemampuan masyarakat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Ketika membicarakan kemiskinan akibat faktor budaya, kita tidak hanya berbicara tentang tradisi atau adat istiadat yang menjadi ciri khas suatu komunitas. Lebih dari itu, budaya mencakup sistem nilai, norma, kebiasaan, dan cara pandang yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Dalam beberapa kasus, budaya tertentu dapat menjadi penghalang bagi perkembangan individu maupun kolektif, sehingga memengaruhi dinamika sosial secara keseluruhan.
Pandangan tentang hubungan antara kemiskinan dan budaya ini bukanlah hal yang baru. Para ahli seperti Oscar Lewis dalam konsep "culture of poverty" berpendapat bahwa kemiskinan sering kali membentuk budaya tersendiri, di mana individu dan kelompok yang hidup dalam kemiskinan mengembangkan cara hidup yang sulit untuk diubah. Lewis menyatakan bahwa budaya kemiskinan bukan sekadar hasil dari kurangnya uang, tetapi juga dari sikap, nilai, dan struktur sosial yang memperkuat siklus kemiskinan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua pengaruh budaya bersifat negatif. Dalam beberapa konteks, budaya justru menjadi kekuatan pendorong untuk kemajuan dan kemandirian ekonomi. Misalnya, nilai-nilai kerja keras, pendidikan, dan inovasi yang kuat dalam budaya Jepang telah membantu negara tersebut pulih dan berkembang pesat setelah Perang Dunia II. Oleh karena itu, memahami dan mengatasi kemiskinan melalui lensa budaya memerlukan analisis yang lebih mendalam dan seimbang.
Pendekatan yang hanya fokus pada aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan faktor budaya cenderung tidak efektif dan tidak berkelanjutan. Program pengentasan kemiskinan yang tidak sensitif terhadap nilai dan norma lokal sering kali gagal karena kurang diterima oleh masyarakat sasaran. Sebaliknya, inisiatif yang berhasil adalah yang mampu menghormati dan mengintegrasikan elemen budaya dalam setiap tahap perencanaan dan implementasi.
Di Indonesia, kasus seperti tradisi gotong royong yang terkadang salah kaprah, ketergantungan pada pertanian tradisional tanpa inovasi, atau rendahnya partisipasi pendidikan karena prioritas adat menunjukkan bagaimana budaya dapat menjadi penghalang, tetapi sekaligus peluang jika dikelola dengan baik. Oleh karena itu, penting untuk menyoroti dan mengeksplorasi dinamika sosial yang terjadi akibat faktor budaya, agar solusi yang dirancang tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga transformasional.
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana faktor budaya memainkan peran dalam memperburuk atau mengatasi kemiskinan di masyarakat. Dengan mendalami dinamika sosial dan faktor-faktor budaya, serta membandingkannya dengan fenomena serupa di tingkat global, diharapkan kita dapat memahami langkah-langkah strategis yang perlu diambil untuk mengurangi kemiskinan secara holistik. Artikel ini juga akan menyajikan pandangan para ahli, studi kasus, dan refleksi filosofis untuk memberikan wawasan yang lebih mendalam.
Pengertian dan Pandangan Dinamika Sosial Menurut Para Ahli
Dinamika sosial merujuk pada perubahan dan interaksi yang terjadi dalam masyarakat sebagai respons terhadap perkembangan internal maupun eksternal. Menurut Soerjono Soekanto (2007), dinamika sosial adalah "perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mencakup pola interaksi, struktur, dan norma-norma sosial sebagai akibat pengaruh sosial budaya dan teknologi."
Pendapat lain disampaikan oleh Gillin dan Gillin (1948) yang menyatakan bahwa dinamika sosial mencakup "cara masyarakat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya." Sementara itu, Kingsley Davis menyoroti bahwa dinamika sosial dapat mencerminkan transformasi hubungan sosial sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.