“Baik sekarang serius. Ustadz serius nih… Tikus keluar dari lobang. Ia ingin cari makan, tolong menolong….”
Ah, gara-gara tolong menolong itu, aku ditarik ke sana ke mari oleh anak-anak. Ya, meski sedang mengajar, main-main mengasyikkan juga. Meredakan stress. Mengusir gundah. Meski tentu, aku tak boleh hanya main-main saja. Mengajar, mendidik, itu yang utama.
Pada aslinya, aku memang suka main-main. Benar, sebagian jiwaku masihlah anak-anak, mungkin sebagian besar darinya. Ah, barangkali masih kanak-kanak. Maka bermain bersama anak adalah hal yang menyenangkan. Kunikmati saja. Karena itu, di luar jam belajar, sesekali, ah sering aku sempatkan untuk bermain dengan anak-anak, atau setidaknya berbaur dengan mereka.
Satu hal yang tak boleh kulupa, meski bermain-main adalah hal yang menyenangkan, memberi pendidikan adalah lebih penting dari itu. Ini yang tak mudah, bagaimana bermain-main, bercanda-canda, tapi sekaligus mendidik. Sebab canda tawa memang seringkali melenakan. Bila kelewatan, alih-alih ilmu, pendidikan, paling yang hanya ketawa-ketawa itu yang didapat. Belum kalau ucapan-ucapan yang tak semestinya terceplos, atau perilaku yang tak seharusnya ikut muncul.
Semoga saja aku bisa. Memadukannya, bermain dan belajar, bercanda dan mendidik. Mohon doanya kawan..
Tersebab cinta itu telah bersemi. Kurasa dialah yang meski dipertahankan. Meski setumpuk kecewa menggelinding dan menubruk, meski luka kadang menganga, cinta harus tetap bertahan. Namanya juga anak-anak, bikin gemas barangkali adalah sebagian sifat mereka. Kata ‘gemas’ itu terkadang berganti ‘geregetan’ atau di kala tertentu ‘pengen marah.” Dan meski begitu; gemas, geregetan, pengen marah, sebentar kemudian aku harus sudah siap bercanda-canda lagi, main-main lagi, ketawa-ketawa lagi..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H