Bermula dari penandatangan kerjasama antara Indonesia dengan perusahaan kaca tiongkok (Xinyi Glass) yang dilaksanakan di Hotel Shangri-La, Chengdu, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), pada Jumat (28/07/2023). Kerja sama ini melibatkan investasi senilai 11,6 miliar USD.
Pemerintah mempunyai alasan bahwa investasi ini akan berkontribusi dalam membangun ekosistem hilirisasi industri kaca dan panel surya di kawasan Rempang, Batam, Indonesia. Investasi ini diperkirakan akan menyerap tenaga kerja sekitar 35 ribu orang, terutama dalam proses hilirisasi pasir kuarsa dan silika di Rempang.
Sementara itu di Pulau Rempang terdapat 16 kampung tua dan pemukiman warga Asli di Pulau Rempang. Adapun luas total 16 kampung tua itu tidak sampai 10 persen dari luas Pulau Rempang. Warga di kampung tua tersebut terdiri dari beberapa suku, diantaranya suku Melayu, suku Orang Laut dan suku Orang Darat.Â
Dengan adanya investasi dan kerjasama dengan perusahaan kaca asal tiongkok tersebut, pemerintah berupaya membangun kawasan Rempang Eco City dan mengakibatkan penggusuran terhadap lahan masyarakat adat yang ada disana.
Pemerintah melalui Menkopulhukam, Mahfud MD mengatakan bahwa status tanah di rempang itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002.
Dari penggusuran yang dilakukan, pemerintah berupaya memberi ganti rugi dan relokasi masyarakat yang terdampak, tetapi masyarakat adat menolak untuk direlokasi.
Terlintas dipikiran kita mengapa pemerintah begitu berambisi untuk tetap menjalankan proyek tersebut? benarkah bahwa investasi di rempang itu menguntungkan masyarakat disana atau investor? benarkah bisa terealisasi penerapan 35ribu orang tenaga kerja disana?.
Persoalan di rempang ini begitu kompleks dan tidak terelakkan akibat kebijakan yang neoliberal.Â
Pertama, ini terkait bahwa Tiongkok hari ini menjadi kekuatan imperialis baru, salah satunya ditandai dengan kolosal dan masifnya masuknya kapital mereka melalui perusahaan -perusahaannya di berbagai negara salah satunya Indonesia. Dengan ekspansi bisnisnya mereka menjangkau negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah untuk diolah demi kebutuhan bisnis tersebut.Â
Kedua, ini terkait pemerintah mendalilkan bahwa "kesejahteraan rakyat" itu bisa dicapai dengan pembangunan infrastruktur dan industri walaupun dengan bantuan kapital asing.Â
Tetapi persoalannya menjadi rumit ketika pembangunan industri yang dilakukan oleh pemilik modal/investor yang bekerjasama dengan pemerintah harus menggusur lahan atau tanah dari masyarakat adat atau masyarakat rentan lainnya. Ini artinya masyarakat adat seperti rempang kehilangan akses terhadap tanah dan lingkungannya dimana itu sarana mereka untuk mencari makan.Â
Belum lagi bagi masyakarat adat menganggap bahwa tanah itu juga bagian dari budaya, yang turun temurun di warisi dan di lestarikan. ada ikatan kolektif yang dibangun disana, sementara pemerintah dan investor ingin menjadikan tanah sebagai komoditi yang akan menjadi prasyarat untuk membangun pabrik dan sarana ekonomi lainnya.Â
Ketiga, pemerintah mendalilkan bahwa hilirisasi industri kaca tersebut akan menyerap 35ribu orang tenaga kerja, tetapi ini tidak semudah itu, belum lagi kita berbicara soal kesiapan dari masyarakat di sekitar dalam kedatangan industrialisasi. Kalau pun mereka diberi pendidikan dan pelatihan tetapi mereka juga pasti tidak semuanya diakomodir untuk bisa masuk ke perusahaan disana apalagi dengan adanya kompetisi di pasar tenaga kerja dan rotasi yang dilakukan oleh perusahaan maka bisa berakibat pada terombang-ambingnya masyarakat yang pada akhirnya masuknya mereka di sektor informal atau justru pengangguran.Â
Keempat, proyek rempang eco city ini bisa menimbulkan potensi kerusakan lingkungan dan menghilangkan keanekaragaman hayati yang ada disana.
Kelima, aspek psikologis dari masyarakat adat yang digusur bisa menimbulkan potensi trauma apalagi adanya represifitas yang dilakukan oleh aparat bahkan terdampak pada siswa-siswa di sekolah disana.
Keenam, industrialisasi yang digaungkan oleh pemerintah dari data yang dirilis bps justru menujukkan deindustrialisasi dimana pekerja informal di Indonesia mendominasi jumlah sektor tenaga kerja secara keseluruhan. Data BPS per Februari 2023 pekerja informal sudah mendominasi sebanyak 83,34 juta orang atau setara 60,12% dari total pekerja.Â
Sedangkan untuk pekerja sektor formal sebanyak 55,29 juta orang. Â Deindustrialisasi ini juga dipicu oleh produksi dan penggunaan teknologi tanpa batas yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di sektor manufaktur justru bukan malah menyerap tenaga kerja tetapi akan melahirkan pengangguran-pengangguran baru dan penurunan upah.
Jelas bahwa investasi tersebut memiliki paradoks dan kontradiksi yang justru menyengsarakan masyarakat adat di rempang, maka dari itu pemerintah harus menghentikan dan mencabut proyek rempang eco city.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H