(WAJO-KOMPAS) - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jendral Sumber Daya Air melalui BBWS Pompengan Jeneberang saat ini sedang mengerjakan proyek Revitalisasi Danau Tempe di tiga titik operasi yakni di Kabupaten Wajo, Soppeng dan Sidrap. Untuk wilayah operasi Kabupaten Wajo berada di Empagae, Jl. Ambo Ewang, Desa Assorajang, Kec. Tanasitolo melalui kontraktor PT. Nindya Karya dan FAF Yusal Pratama (FYP) dalam Kerjasama Operasi (KSO).
Hingga saat ini (22/1/2018), perkembangan pengerjaannya sudah memasuki tahap pengerjaan konstruksi. Meski telah memasuki tahun kedua sejak pengoperasiannya, namun sejumlah hal menjadi keluhan tersendiri bagi warga di Empagae, Kab. Wajo dalam hal pelaksanaannya.
Salah satu keluhan dari Odding. Menurutnya, pengoperasian proyek yang terlalu dekat dari rumah membuat warga merasa tidak tenang dan terkadang merasa kaget akibat kebisingan, getaran tanah, maupun debu yang ditimbulkan oleh alat berat, mesin operasi ataupun penurunan material dari mobil.
"Kalau dulu awal awal pengoperasian masih amanji karena ada pembatas (seng) wilayah kerjanya, jadi suara tidak terlalu ributji. Sekarang sejak adanya kapal operasi pengeruk tanah yang besar, di jalanan samping rumahmi naoperasikan excavator padahal terkadang jaraknya cuma kurang lebih dua meter dari rumah terlebih kalau mereka lembur. Padahal kami mayoritas nelayan disini harus istirahat lebih cepat kalau malam, karena waktu subuh kami sudah harus mendanau ambil ikan dari jabba (jebakan ikan)" keluh Odding.
Dalam penuturannya, Odding mengaku sangat terganggu akibat operasinya terutama kalau tengah malam.
"Bagaimana tidak terganggu ditengah nyenyak tidur tengah malam (jam 12 malam), tiba tiba truk pengangkut alat berat atau material batu yang tiba-tiba menurunkan muatannya di samping rumah, apa tidak terganggu kalau dalam keadaan seperti itu? Kalau bisa tolong perhatikan juga keluhan kami demi kenyamanan bersama, kan bisa diturunkan kalau keesokannya, bukan diwaktu orang istirahat (tidur)"jelas Odding.
Selain itu, puluhan warga yang juga aktif ikut sebagai pekerja harian dalam proyek ini mengeluhkan soal upah kerja mereka. Salah satunya datang dari Abdul. Dia menjelaskan sebagai pekerja harian semestinya merekapun menerima upah kerjanya  setiap hari. Tapi kenyataannya Abdul menjelaskan bahwa mereka menerima upah setiap dua minggu sekali bahkan telat sampai tiga minggu, padahal kebutuhan Abdul dan rekannya juga banyak.
Lebih lanjut soal upah kerja, Abdul merasa ganjal soal pemberian upah yang diterimanya. Abdul menilai upah sebesar Rp. 80.000,-/hari semestinya lebih transparan dengan melampirkan slip gaji atau sekedar tanda serah terima uang dari kantor.
"Jadi nda kita tau apakah upah sebesar itu resmi dari perusahaan atau tidak, karena cuma diserahkan saja secara langsung dari mandor kerja"tutup Abdul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H