Secara umum, penelitian tentang konsep diri berfokus pada setidaknya tujuh masalah: pertama, aspek definisi dimensi dan komponen spesifik pandangan diri; kedua, aspek neuropsikologis serta aspek struktural konsep diri; ketiga, aspek pengukuran konsep diri; keempat, jaringan konstruk konsep diri (misalnya, hubungan antara konsep diri dan kepribadian, konsep diri dan penyesuaian psikologis, konsep diri dan pencapaian, konsep diri dan kesehatan); kelima, mekanisme yang mendasari hubungan antara konsep diri dan hasil psikologis dan kesehatan (misalnya, hubungan sebab akibat, mekanisme saraf diri); keenam, aspek perkembangan konsep diri (misalnya, kontinuitas vs perubahan definisi diri dan struktur diri); dan ketujuh, perbedaan konsep diri lintas budaya (aspek universal konsep diri vs aspek konsep diri spesifik budaya). (Gana, 2012, hal. 3).
Konsep diri dikonseptualisasikan sebagai "totalitas pikiran dan perasaan individu yang mengacu pada dirinya sendiri sebagai objek". “Bukan hanya bagian-bagian, tetapi juga hubungan di antara bagian-bagian itu, yang merupakan keseluruhan”. Ini telah dianggap sebagai "model unidimensional sejati" dalam arti bahwa harga diri adalah konstruksi psikologis yang bermakna dalam dirinya sendiri yang mewakili keseluruhan rasa berharga sebagai pribadi. Oleh karena itu, para peneliti telah mengeksplorasi berbagai konsep diri dari perspektif multidimensi. (Gana, 2012, hal. 22).
Dalam psikologi, diri adalah refleksi sadar dari keberadaan seseorang. Konsep diri adalah aspek kognitif atau berpikir dari diri sendiri, yang berhubungan dengan citra diri. Kita juga harus memahami bahwa diri dapat dibaca sebagai objek dan juga yang mengetahui. George Herbert Mead menyarankan bahwa setiap orang yang disosialisasikan adalah miniatur masyarakat; diri adalah percakapan internal di antara peran sosial yang dirasakan. “Aku” secara aktif menciptakan diri dengan mengambil dan melakukan peran sosial. Sebagai objek, "aku" melakukan apa yang "aku" diharapkan secara sosial oleh orang lain untuk dilakukan. Menurut Mead, melalui "orang lain yang digeneralisasikan", individu memahami jenis perilaku apa yang diharapkan dan sesuai dalam pengaturan sosial yang berbeda. "Orang lain yang digeneralisasi" mengacu pada gagasan umum seseorang tentang peran sosial. Oleh karena itu, pembentukan diri menjadi rumit karena kita memilih untuk berperilaku dan kita berperilaku untuk menerima refleksi dari perilaku kita. Cooley (1902) menjelaskan bagaimana diri dikembangkan dalam lingkungan sosial.
Konsep diri ini bisa dikatakan seperti bagaimana kita membayangkan diri terlihat oleh orang lain dan pada saat yang sama menafsirkan reaksi orang lain, mengembangkan perasaan tentang diri kita sendiri (yaitu, konsep diri). Percakapan internal terjadi dalam proses pengembangan diri. Sebagai metafora, kaca tampak mencerminkan diri di cermin. Diri ini bertindak terhadap harapan sosial dan sesuai dengan norma sosial. Ketika kita melihat cermin, diri muncul sebagai "Aku", yang mencerminkan diri yang terbentuk secara sosial. Standar "diri" entah bagaimana dibangun secara sosial, dan sebagai anggota masyarakat, kita mengikuti standar ini. Pendidik percaya bahwa diri dapat ditingkatkan secara positif melalui pendidikan.
Pendidikan atau pelatihan memainkan peran penting dalam pengembangan diri. Proses pendidikan atau pelatihan tergambar jelas dalam unsur-unsur “aku”, diri sebagai objek (untuk diketahui), terutama selama masa sekolah pada masa kanak-kanak dan remaja. Pendidikan atau pelatihan mengacu pada proses transmisi norma, adat istiadat, nilai, tradisi, ideologi, peran sosial, simbol, dan bahasa melalui agen, seperti keluarga, kurikulum, agama, kelompok sebaya, media massa, dan lembaga publik lainnya. Pendidikan atau pelatihan penting karena membantu memastikan kesinambungan sosial dan budaya dengan mengembangkan keterampilan dan kebiasaan yang diperlukan untuk partisipasi sosial. Itu "membuat seseorang cocok untuk masyarakat," sehingga mempromosikan stabilitas dan harmoni sosial. Itu dibangun di atas perspektif fungsional dalam sosial.
Selanjutnya, pendidikan atau pelatihan mempengaruhi konsep diri, emosi, sikap, dan perilaku. Dalam pembentukan konsep diri dan harga diri seseorang, pendidikan atau pelatihan tentu mengambil peran kunci karena menyiratkan harapan sosial dan norma sosial. Pendidikan atau pelatihan dapat dipahami secara spesifik berkontribusi pada pengembangan diri dalam proses pembelajaran.
Dengan demikian, sintesis penulis dalam hal ini menganggap bahwa self-concept atau konsep diri memainkan peran penting dalam kehidupan sosial, misalnya dalam bersosial di media sosial. Bila kita tidak memahami konsep diri, kita seperti daun kering yang jatuh dari pohonnya lalu terbang mengikuti hembusan angin tanpa arah yang jelas diri ini mau dibawa kemana, mengikuti saja mainstream yang terjadi, padahal kita sebagai manusia harus punya prinsip bila terlebih dahulu secara sadar memahami konsep diri. Tidak mudah mempercayai framing informasi yang bertebaran di media sosial secara gamblang. Yang lebih penting lagi, konsep diri ini berguna untuk membantu diri memahami mana yang prioritas dalam hidup dan kehidupan sosial. Mampu memfragmentasi dari sekian banyak informasi di media sosial dan memfilterisasi mana informasi yang menjadi prioritas hidup.
Ditulis oleh: Rahma Karunia
Mahasiswi Manajemen S1 Universitas Pamulang
Link artikel lainnya:
https://www.kompasiana.com/rahmakarunia09/61b2e00362a7044d555c0682/bisnis-berbasis-sociopreneurship
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H