Fenomena selanjutnya yaitu munculnya sejumlah pendukung gerakan Islamic State of Iran and Sham (ISIS/NIIS) yang terlihat secara sporadis di beberapa daerah seperti Sukoharjo, Malang, Tangerang, Surabaya, dan lain-lain.[1] Dukungan yang mereka berikan berupa penggalangan bantuan dana dan pengiriman mujahid yang akan membantu para pejuang ISIS di wilayah konflik. Hingga banyak WNI yang yang tertarik, bukan hanya karena faktor ideologis tetapi juga karena faktor ekonomi yang mengiming-imingi gaji bulanan dan jaminan kesejahteraan bagi keluarga pejuang. Kenyataannya gerakan radikal di Indonesia dan juga di negara-negara lain mengingatkan pada teori “jebakan demokrasi” (democracy trap).[2] Yakni, rezim demokrasi dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menjalankan aksinya untuk merebut politik-kekuasaan pada ujung pergerakannya.
Di Indonesia, kebijakan negara terkait penanganan radikalisme dan terorisme banyak mengalami resistensi dari sebagian ummat Islam, khususnya dikalangan radikal sendiri, mengingat upaya penumpasan kelompok radikal hanya didasarkan pada satu pendekatan saja, yakni melalui pendekatan keamanan (security approach).[3] Selain melalui security approach melalui Densus 88, memang ada program deradikalisasi melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).[4] Namun demikian, eksistensi lembaga ini juga banyak menerima kritikan. Salah satu kritikannya adalah tidak jelasnya cakupan kerja dan bentuk-bentuk program yang tidak menjadikan kelompok radikal sebagai target utama.
Jika dilihat dari perspektif kaum radikal, salah satu argumentasi mengapa mereka menolak demokrasi, Pancasila dan UUD 1945 memang karena ketiganya dianggap sebagai hasil ciptaan manusia. Sementara itu, negara khalifah dan Syari’ah dianggap sebagai representasi sistem politik-bernegara autentik yang berasal dari wahyu Tuhan yang terekam dalam kitab suci (Al-Qur’an dan Hadis). Jika keduanya mengajukan hal tentang kitab suci, maka keduanya tentu saja tidak mengindahkan kesejarahan dalam aspek penting pengambilan keputusan hukum.
Perbincangan tentang relasi agama dan politik dapat kita simpulkan dengan pola pikir yang berbeda disetiap manusia. Harus diakui bahwa relasi agama dan politik sendiri sangatlah resiprokal dan memiliki proses tarik-menarik yang cukup kuat antar keduanya. Agama bisa mempengaruhi dan terpengaruhi oleh politik dalam artian luas maupun kecil. Anasir Marx tentang agama adalah candu, sebenernya merupakan bentuk kritikan terhadap agama itu sendiri.
Sebagai contoh diatas, tentang politik uang yang memang harus kita hindari. Politik uang ini sangat merugikan bagi mereka yang benar-benar berjuang untuk memimpin suatu daerah. Politik uang merupakan sebuah pelanggaran yang terjadi di kalangan politik. Bukan hanya di negeri ini, bahkan di negara manapun juga sering terjadi. Agama itu tidak bertentangan dengan politik, namun politisi lah yang seringkali melanggar syari’at-syari’at agama. Bahkan politisi lah yang sering bertetntangan, bukan politik.
Selain itu, gerakan radikal cenderung mengajak Indonesia untuk berjuang melalui partai politik, tetapi Indonesia menolaknya. Karena di anggapnya kelompok radikal memanfaatkan demokrasi untuk menjalankan aksinya untuk merebut politik-kekuasaan. Sehingga muncullah beberapa kebijakan dengan menerapkan pendekatan keamanan (security approach).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H