Mohon tunggu...
Rahmah Nur Iffah
Rahmah Nur Iffah Mohon Tunggu... Mahasiswa - UPI

Menulis dan terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Ikan Adalah Pertapa: Meratapi Hidup Lewat Sajak dari Asia Timur

19 Juni 2023   18:00 Diperbarui: 27 November 2023   13:17 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku kumpulan puisi ini berisi 60 puisi yang dibagi ke dalam 4 bagian dengan judul yang khas. Puisi-puisi yang termuat dalam buku Ikan adalah Pertapa mengungkapkan bagaimana realitas kehidupan lewat diksi-diksi yang menyatakan banyak makna. Pada bagian 1 banyak membahas tentang perjalanan kehidupan, dari ada menjadi tiada, dari muda menjadi tua, dari mendapatkan sampai kehilangan.  Pada bagian 2 membahas tentang kenangan di masa lalu. Selanjutnya pada bagian 3 banyak menggambarkan paradoks kehidupan. Dan di bagian 4 mempertegas tentang tema-tema sebelumnya dengan menampilkan realitas kehidupan yang sering kali di kesampingkan.  Misalnya pada puisi "Kesewenang-wenangan kepada Sang Surya" yang mengangkat topik tentang perubahan iklim yang jarang kita perhatikan. Hal ini tampak dari kutipan di bawah ini.

Bertahun-tahun, demikian lama//

 

memberikan banyak awan, hujan, dan sinar matahari/

tapi tak mendapat ucapan terima kasih/

("Kesewenang-wenangan kepada Sang Surya", Ryeol, hlm. 170)

Di awal puisi tampak majas hiperbola yang seolah-olah hal ini terjadi sudah sangat amat lama. Nyatanya, memang selama hidup, kita jarang bersyukur atas apa yang alam telah berikan. Tak ada timbal balik dan berakhir dengan banyak bencana alam yang terjadi. Misalnya polusi udara yang menjadi isu hangat di Korea Selatan akhir-akhir ini. Lalu bagaimana di Indonesia? Negeri khatulistiwa yang katanya memiliki alam yang indah. Polusi udara menjadi momok yang tak ada habisnya. 

Nyata, bahkan berdasarkan data dari IQAir, Indonesia adalah negara dengan polusi udara tertinggi di Asia Tenggara. Namun, mirisnya hal ini tak pernah menjadi perhatian yang segara diatasi. Masyarakat seolah tak peduli dengan lingkungannya, dan lupa bahwa alam adalah bagian dari kehidupannya. Hal inilah yang tergambar dalam puisi karya Ko Hyeong Ryeol di atas dengan menampilkan citraan pendengaran dan penglihatan masyarakat yang acuh atas kerusakan alam.

Pada banyak puisi yang termuat dalam buku ini, didominasi oleh kata-kata konotatif. Hal ini mulai tampak dari awal buku dengan puisi yang berjudul "Mitos Ikan" yang menggunakan perumpamaan seperti pada ungkapan "burung gelisah" dan "ikan adalah pertapa". Secara logika hal ini memang tak bisa diterima dan sulit untuk dimaknai maksudnya. Bagaimana seekor burung gelisah dan ikan menjadi pertapa? Ini adalah apa yang manusia lakukan, kegelisahan, lalu mencari ketenangan batin. Hal ini terus bergilir layaknya siklus hujan yang digambarkan dalam puisi ini.  Jelas, gaya bahasa pada puisi-puisi karya Ko Hyeong Ryeol banyak menggunakan perumpamaan. Lihatlah pula kutipan puisi di bawah ini.

Di era manapun anak-anak tak ada lagi karna lenyap/

Setelah menikah dengan wanita, aku dan temanku menua/

Seperti halnya kakek yang telah mati dan ayah yang berada di

panti jompo/

("Masyarakat Alat Bantu Pendengaran", Ryeol, hlm. 145)

Larik-larik puisi tersebut menampilkan penggunaan majas alegori dengan adanya kata "seperti" yang menunjukkan realitas kehidupan yang pahit. Dari kutipan tersebut juga tampak bagaimana citraan penglihatan digunakan oleh penyair dengan kata-kata "anak-anak tak ada lagi". Saat membaca kutipan larik puisi di atas, mungkin kita merasa sedih atau hampa, merasa kehilangan. Itulah rasa dalam puisi ini yang dapat kita rasakan sebagai pembacanya. Secara keseluruhan puisi ini terkesan memberikan gambaran kenyataan akan orang-orang yang kita sayangi pergi dan tak lagi dalam kondisi yang baik-baik saja dengan nada yang menasihati sekaligus menyindir pembacanya. Hal ini bisa dilihat pula pada puisi yang berjudul "Api yang Berdiri", berikut kutipannya.

Namun, kota yang belum selesai hanya mereproduksi fakta/

bahwa kita selalu salah menjadi lilin di mana pun kita berada/

("Api yang Berdiri", Ryeol, hlm. 178)

Kutipan di atas didominasi bunyi vokal "a" yang mendukung nada dalam puisi. Jenis rima asonansi ini menunjukkan larik puisi yang menegaskan sesuatu. Sebagaimana puisi-puisi di buku ini yang dengan tegas menasihati kita sebagai sesama manusia untuk peka terhadap kehidupan yang kita jalani. Hal ini dapat terlihat juga dari tipografi puisi-puisinya yang ditulis rata kiri dengan bentuk ujung larik yang dituliskan tidak rata, bergelombang, seperti alur kehidupan kita yang tak selamanya sama, ada naik dan turun.

Tentu banyak yang bisa kita petik dari untaian larik yang dituliskan oleh Ko Hyeong Ryeol lewat buku Ikan adalah Pertapa. Meski menggunakan kata konotatif yang sulit dipahami masyarakat awam, setidaknya penikmat sastra dan penikmat budaya Korea Selatan harus membacanya sekali seumur hidup agar hidupnya lebih bermakna dan menjadi pribadi yang peka. Buku ini mampu membuat kita meratapi kehidupan yang selama ini kita jalani dan kita lihat. Melalui buku ini, kita dinasihati oleh sang penyair bahwa sebagai seorang manusia, kita sudah sepatutnya membuka mata dan hati kita mengenai bagaimana realitas hidup ini yang penuh paradoks, baik dari isu lingkungan, politik, kemiskinan, kesenjangan sosial di masyarakat dan lainnya.

Buku ini uniknya merupakan kumpulan puisi dwi bahasa dengan puisi asli yang dituliskan dengan hangeul khas negeri ginseng dan tulisan berbahasa Indonesia yang akrab dengan kita, masyarakat Indonesia yang katanya candu akan budaya Korea Selatan. Puisi, sastra, adalah bagian dari budaya di samping musik dan film yang berseliweran di ranah digital. Buku. Membawa kita pada rasa bernostalgia pada kenangan yang bersama-sama diulik lewat kumpulan puisi milik Ko Hyeong Ryeol. Melalui terjemahan ini kita bisa memaknai bagaimana hiruk-piruk kehidupan Korea Selatan di samping romantisme sungai Han dengan Ost. drakor yang menyayat hati. Ya, buku ini pun menyayat hati para pembacanya, lewat larik-larik puisinya yang penuh makna sekaligus menghadirkan banyak makna yang bisa relate oleh semua kalangan. (Rahmah Nur Iffah).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun