Pada Sabtu, 24 Februari 2024, kami melakukan Modul Nusantara Refleksi pertama kami dengan menonton dan membedah film dokumenter “Bebenjangan” bersama sutradaranya langsung yaitu Teh Belva Atsil. Dan disini saya akan mengajak teman-teman semua untuk membedah kembali film dokumenter ini.
Tradisi Benjang merupakan tradisi seni pertunjukan Sunda. Tradisi ini dimulai dari abad 19 dan awal berkembang pada abad 20. Terdapat 3 jenis yaitu Benjang Culat, Benjang Helaran atau Helaran Benjang, juga ada seni pertunjukannya itu adalah “Topeng Benjang”. Kalau misalkan kita tahu ‘Helaran’ yaitu yang sekarang kita sering lihat, yang mana itu ada seperti seni lumping-lumping dan barong.
Tim dokumenter itu mewawancarai para tokoh lokal, generasi muda, dan para ahli budaya untuk mengeksplorasi makna dan peran “Bebenjangan” dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kamera mereka, mereka merekam proses pembuatan bebenjangan, cerita dibalik setiap motif, dan bagaimana komunitas merayakan keberlanjutan warisan budaya ini.
Melalui perjalanan dokumenter ini, kami diarahkan untuk lebih memahami nilai-nilai budaya yang terkandung dalam “Bebenjangan” dan betapa pentingnya menjaga keberlanjutan tradisi lokal di tengah arus globalisasi. Cerita ini bukan hanya tentang seni rupa tradisional, tetapi juga tentang warisan yang hidup didalamnya, menciptakan kisah yang memukau dan membangkitkan rasa kebanggaan terhadap kekayaan budaya Indonesia.
Namun dibalik semua itu, sekarang ini banyak oknum atau pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab dan menyalahgunakan tradisi ini. Dari atraksi yang dulunya hanya sekedar helaran atau pertunjukan, sekarang malah dijadikan ajang aji mumpung yang bisa memanfaatkan kesenian untuk kepuasan diri sendiri. Mereka berlindung dalam kata 'kesurupan' untuk memenuhi nafsu mereka.
Mereka sengaja mengincar perempuan-perempuan yang menonton dan bahkan mereka sampai masuk kedalam rumah warga hanya untuk mencari perempuan-perempuan tersebut. Bahkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab tersebut dengan terang-terangan menempelkan badannya dan bahkan ada yang sampai menyentuh bagian sensitif pada tubuh mereka. Yang dimana hal itu sangat mengganggu privasi mereka, bahkan ini sudah dalam tahap pelecehan seksual.
Bahkan diantara perempuan yang mereka ganggu itu, ada perempuan yang sudah memiliki suami sehingga tak jarang perkelahian pun tak bisa dihindari. Diakibatkan suami mereka yang tak terima istrinya diperlakukan seperti itu, apalagi langsung didepan mata mereka. Jangankan suami mereka, kami sesama perempuan saja tidak terima saudara kami diperlakukan seperti itu.
Bahkan alasan utama sutradara dari film bebenjangan mengangkat tema ini adalah sebagai bentuk kepeduliannya terhadap para perempuan yang merasa dilecehkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini. Agar semua orang tahu dan oknum-oknum seperti ini diberikan sanksi agar tidak merusak nilai kebudayaan dari tradisi benjang ini.
Tradisi ini biasanya digunakan untuk acara khitanan, pernikahan, maupun hajatan lainnya. Mereka mempunyai berbagai macam sanggar, sehingga setiap orang yang ingin menyelenggarakan acara dapat mengundang berapapun sanggar yang mereka mau sesuai budget yang mereka miliki. Kata orang Sunda, fungsi dari helaran ini adalah “Ngabebenjokeun Budak Kariaan” yang artinya mengalihkan perhatian anak yang di khitan.
Dalam film dokumenter bebenjangan ini kami juga diperlihatkan bagaimana mereka melakukan aksi mereka. Ada yang memakan daun, ada yang memecahkan piring kaca dengan mulutnya dan langsung memakannya, memecahkan gelas juga bahkan sampai diberikan triknya yaitu dengan cara menggigit gelas kaca tersebut sekuat tenaga, dan masih banyak lainnya. Dan semua atraksi itu tak jarang membuat mereka terluka parah bahkan sampai membuat luka robek yang cukup besar.
Hikmah yang dapat saya ambil dari film dokumenter bebenjangan ini adalah warisan dari leluhur yang harus tetap dilestarikan, dan kesucian tradisi yang tidak boleh terkotori oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tradisi Benjang bukan hanya hiburan semata, tetapi juga merupakan media untuk menyampaikan nilai-nilai budaya, moral, dan sejarah kepada Masyarakat. Pertunjukan ini telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Sunda, memperkaya warisan budaya Indonesia dan terus dilestarikan untuk generasi mendatang.
Reporter : Rahmah Suci Siti Fatimah
Editor : Salsa Solli Nafsika M.Pd
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H