1.KASUS HUKUM BERDASARKAN PANDANGAN FILSAFAT HUKUM POSITIVISME
   Nenek Minah (55/petani), mengambil 3 biji buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), ketika sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah. Perbuatan Nenek Minah telah diketahui oleh Mandor perkebunan, dan pada saat itu juga nenek Minah telah mengembalikan biji kakao yang diambilnya dan meminta maaf. Namun Pihak perusahaan tetap melaporkan kepada Polisi. PT RSA IV Darmakradenan Menyampaikan bahwa pihaknya telah menderita kerugian Rp 30.000,00 (tiga puluh ribu Rupiah). Akhirnya dalam berkas perkara Nomor No. 247/PID.B/2009/PN.Pwt, nenek Minah harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
   Dalam perspektif positivisme hukum, hukum harus memisahkan secara tegas antara hukum dan moralitas, Oleh karena itu, hakim harus menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam menafsirkan putusannya, dalam kasus di atas, hakim dengan jelas menyatakan nenek Minah bersalah dan terdakwa terbukti melakukan pencurian, dalam logika hukum terdapat hubungan sebab akibat antara suatu perbuatan hukum dengan akibat hukum (kerugian yang diderita perusahaan).
   Menurut aliran positivis, kasus Nenek Minah adalah tindakan yang harus dihukum, berapa pun skala pencuriannya penindakan terhadap nenek Mina harus lepas dari faktor sosial dan moral. Sebab, menurut aliran ini tujuan hukum adalah kepastian dan tanpa kepastian hukum tanpa adanya rasa keadilan pun tujuan hukum tidak dapat tercapai. Menurut Austin, hukum tidak bergantung pada persoalan keadilan dan persoalan benar dan salah. Oleh karena itu, tugas ilmu hukum hanya menganalisis unsur-unsur yang sebenarnya ada dalam sistem hukum modern.
  Hukum positif, yaitu hukum yang dapat diterima tanpa mempertimbangkan benar atau salah. Hukum merupakan suatu tatanan kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara dalam pembuktian perkara ini, hakim menafsirkan dengan menggunakan teori pembuktian yang berdasarkan hukum secara negatif.
  Dimana didasarkan pada Pasal 184 KUHAP, bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.Â
   Sistem pembuktian secara negatif harus menjadi pedoman bagi hakim, karena selayaknya hakim harus ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan suatu hukuman pidana. Model pembuktian ini menurut Wirjono bermanfaat jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
2. PENGERTIAN MADZHAB POSITIVISME
   Positivisme dalam hukum artinya hukum dipositifkan sebagai status tertinggi diantara berbagai norma (the supreme of law), yang terdiri dari suatu rangkaian panjang pernyataan-pernyataan tentang berbagai perbuatan yang di identifikasikan sebagai fakta hukum dengan konsekuensinya yang disebut akibat hukum. Sebagai positivism jurisprudence atau positivisme ilmu hukum bertolak bahwa ilmu hukum adalah sekaligus ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat yang sudah semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas.
3. MAZHAB HUKUM POSITIVISME DALAM HUKUM DI INDONESIA
   Dalam praktiknya, penggunaan paradigma positivisme di era posmodernisme ternyata menjadi penghalang untuk dilakukan pencarian nilai kebenaran dan keadilan yang sinkron dengan hati, pencarian itu terhenti akibat limitasi formal yang belum mewakili atau mengikuti hati nurani. Sebagai contoh implementasi di lapangan yang cukup menyayat hati ada seorang Guru honorer yang telah bekerja belasan tahun dengan upah yang tidak layak harus mengikuti ujian Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), bahkan yang bersangkutan dalam keadaan sakit stroke harus memaksakan mengikuti ujian PPPK. Hal demikian salah satu implikasi dari paradigma positivisme hukum, akibat tidak adanya istilah tenaga honorer di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, membuat nasib tenaga honorer jadi tidak jelas. Oleh karena itu hendaknya baik penyelenggara dan pembentuk hukum lebih responsif terhadap fenomena seperti demikian sebagai bentuk jaminan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain paradigma positivisme hukum tidak selalu kompatibel dengan negara kesejahteraan (welfare state) yang esensinya negara berperan dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Selain itu, dalam lingkup penegakan hukum (law enforcement) seringkali terjadi praktik anomali yang diakibatkan paradigma positivisme hukum, bahkan bias dari nilai religiusitas.
   Adapun fenomena di atas telah menunjukan bahwa paradigma positivisme hukum tidak kompatibel dengan corak hukum yang ada di Indonesia, ada beberapa alasan yang mengakibatkan paradigma positivisme hukum tidak masuk dalam corak hukum Indonesia antara lain:Â
(1)Masyarakat Indonesia yang heterogen
(2)Perkembangan sosial, politik dan ekonomi seringkali bergeser begitu cepat sehingga hukum menjadi tertinggal; danÂ
(3)Masyarakat Indonesia yang religius tapi tidak berideologi mutlak agama  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H