Keempat adalah Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta. Dataran Jakarta terbentuk atas dataran aluvial puing berkipas yang diakibatkan oleh letusan Gunung salak. Banyak sungai-sungai lain yang bermuara di Teluk Jakarta, seperti Sungai Ciliwung, Sungai Cisadane, Sungai Pesanggrahan, dan Sungai Cakung. Mulanya terdapat kelompok-kelompok permukiman di daerah aliran Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung, Sungai Bekasi, dan Sungai Ciliwung. Kemudian berkembang menjadi kampung dan berkembang lagi menjadi sebuah bandar. Sebagai bandar, kampung tersebut menjadi lebih besar dan banyak disinggahi oleh kapal-kapal dari berbagai tempat. Melalui Sungai Ciliwung, bandar yang kemudian bernama Sunda Kalapa berhubungan dengan ibu kota Kerajaan Sunda atau yang disebut dengan nama "Dayo" yang terletak di Batutulis, Bogor. Sunda Kalapa menjadi salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, dan Cimanuk. Pada masa itu, Sungai Ciliwung dijadikan sebagai tempat membawa komoditi dagang dari daerah pedalaman dan memasarkannya di Jakarta. Sungai Ciliwung sudah menjadi urat nadi bagi kehidupan warga Jakarta.
Terakhir adalah pelabuhan-pelabuhan sungai kuno pada masa Kerajaan Majapahit. Awalnya Majapahit merupakan kerajaan agraris karena terletak di daerah pedalaman dengan hasil alam yang sangat melimpah. Seorang muslim China pengiring ekspedisi Cheng Ho, Ma Huan, memberitakan bahwa Majapahit merupakan kerajaan penghasil beras karena padi dapat dipanen dua kali dalam setahun. Namun, kemudian bertransformasi menjadi kerajaan maritim yang kuat dan mampu menguasai hampir seluruh wilayah di Nusantara. Tahap awal sebagai kerajaan maritim, Majapahit telah mampu mengoptimalkan fungsi sungai sebagai jalur perdagangan dari daerah pedalaman menuju hilir (pesisir) dan sebagai jalur pelayaran dengan membuat berbagai pelabuhan dagang di sepanjang aliran sungai, tepatnya di tepi Sungai Brantas, Mojokerto, Jawa Timur yang bermuara di Laut Jawa. Prasasti Canggu 1280 Saka (1358 Masehi) menyebutkan bahwa terdapat 34 pelabuhan di sepanjang sungai Brantas. Pelabuhan utamanya adalah Pelabuhan Canggu yang merupakan pelabuhan dagang, kini diidentikkan dengan Desa Canggu, Kecamatan Jetis, Mojokerto. Terdapat pula berbagai pelabuhan penopang lainnya, seperti Pelabuhan Bubat yang berubah menjadi Desa Tempuran, Kecamatan Sooko, Mojokerto dan Pelabuhan Terung yang menjadi Dusun Terung Kecamatan Krian, Sidoarjo. Keduanya merupakan pelabuhan penumpang.
Pada masa Kerajaan Majapahit, Pelabuhan Canggu memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai pangkalan militer dengan membangun benteng-benteng sebagai pertahanan dan persiapan penyerangan ke daerah musuh; sebagai pelabuhan dagang sungai dengan berbagai komoditi dagang, seperti beras, rempah-rempah dari daerah Maluku, serta berbagai jenis kain, keramik, dan logam dari India dan China. Di sana, kapal-kapal dagang dapat berlabuh dan berlayar keluar masuk Sungai Brantas menuju Selat Madura. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, aktivitas perdagangan yang terjadi di Pelabuhan Canggu memberikan keuntungan ekonomi yang sangat besar bagi Majapahit. Oleh sebab itu, Hayam Wuruk memberikan hak Swatantra atas jasa pengelola pelabuhan-pelabuhan sungai, yaitu kepada Panji Margabhaya dan Panji Angraksaji selaku pegawai rendah yang ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk mengelola Pelabuhan Canggu dan Terung. Sebagai pelabuhan bea cukai, Majapahit mengenakan pajak dagang untuk sejumlah barang dagang yang dibawa masuk ke wilayah Majapahit dan pajak sandar untuk perahu atau kapal dagang yang bersandar di Pelabuhan Canggu, serta sebagai rumah bordil atau tempat lokalisasi dilakukan.
Dapat disimpulkan bahwa pelabuhan memegang peranan yang sangat penting dalam suatu negara maritim. Pelabuhan menjadi jalur penghubung antar daerah sekaligus menjadi bagian dari sarana mobilitas masyarakat, rantai distribusi barang dan jasa, serta perdagangan. Salah satu jenis pelabuhan yang ada di Nusantara adalah pelabuhan sungai. Pelabuhan-pelabuhan sungai bersejarah di Nusantara yang sudah dipaparkan sebelumnya, diharapkan dapat terus dikenang dan dapat menjadi sarana edukasi sejarah peradaban maritim bangsa Indonesia. Lalu, di masa modern saat ini, pelabuhan sungai sudah semakin beragam fungsinya. Di mana, pelabuhan sungai dijadikan sebagai sarana wisata sungai, seperti yang terlihat pada wisata Tanjung Puting River Cruise di Kalimantan Tengah, Kali Lo di Banyuwangi, Sungai Kapuas di Banjarmasin, dan Susur Sungai Kayahan di Kalimantan Tengah. Pelabuhan-pelabuhan sungai yang beroperasi hingga saat ini diharapkan dapat terus dipertahankan sebagai bagian dari budaya tradisional maritim masyarakat yang kelangsungan hidupnya bergantung pada sungai. Oleh sebab itu, pelabuhan jenis apapun termasuk pelabuhan sungai harus dikelola dengan baik di tangan otoritas yang tepat agar pelabuhan dapat menjalankan fungsi dan aktivitasnya secara maksimal, efektif, dan efisien melalui pemberian infrastruktur pelabuhan, sistem informasi, peralatan navigasi, dan aksesibilitas pelabuhan yang baik.
Daftar Pustaka
Kemdikbusristek. (2022). Pelabuhan Canggu Mojokerto Jawa Timur dan Peran Sungai Brantas Era Jalur Rempah pada Abad X-XIII. Jalur Rempah Kemdikbudristek Republik Indonesia. Diakses pada 9 Januari 2023, dari https://jalurrempah.kemdikbud.go.id/artikel/pelabuhan-canggu-mojokerto-jawa-timur-dan-peran-sungai-brantas-era-jalur-rempah-pada-abad-x-xiii
Lapian, A.B., "Sejarah Nusantara Sejarah Bahari", Pidato Pengukuhan Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Sejarah FSUI, 4 Maret 1992.
Mulya, Liliyana. (2013). Postur Maritim Indonesia: Pengukuran Melalui Teori Mahan. Lembaran Sejarah, 10(2), 127-134.
Pelindo. (2017). Peran Pelabuhan Sungai dalam Pertumbuhan Perekonomian: Sungai Sebagai Pusat Peradaban Maritim. Kongres Sungai Indonesia III. Banjarmasin: 2 november 2017.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan.
Pradjoko, Didik dan Utomo Bambang Budi. (2013). Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.