Â
RUU KPK dan Kitap Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP), serta menolak rencana sejumplah pengesahan RUU lainya di depan gedung MPR/DPR, Jakarta, pada hari rabu 25 September 2019.
Belakangan ini media sosial banyak diunggah video pelajar yang masih menggunakan seragam sekolah terlibat bentrok dengan polisi saat terjadi unjuk rasa penolakanVideo bermula ketika segrombolan pelajar yang disebut-sebus sebagai 'pelajar STM' berjalan mendatangi kerumunan masa saat demo berlangsung selasa 24 september 2019 kemarin di depan gedung MPR/DPR, Jakarta. Satu diantaranya terlihat membawa sebatang kayu panjang dan berlali seperti ingin tawuran.
Video tersebut memicu musnculya dua hastag di media sosial yaitu '#STMbergerak', dan '#STMmelawan', yang meyebabkan pada Rabu 25 September 2019 banyak pelajar mendatangi gedung MPR/DPR, Jakarta untuk ikut serta dalam aksi unjukrasa tersebut.
Namun sayangnya, yang terjadi bukanlah unjuk rasa yang sehat, melainkan bentrok dengan aparat keamanan. Akibatnya, banyak dari mereka yang tertangkap dan diamankan oleh pihak kepolisian. Ketika mereka ditanya alasan mereka ikut aksi tersebut, ada yang menjawab hanya ikut-ikutan teman tanpa tahu fungsi dari unjuk rasa tersebut.
Pantaskah pelajar ini melakukan aksinya? Apakah benar yang dilakukan mereka? Mungkin yang dilakukan benar, hanya caranya saja yang salah, karena unjukrasa tidak selalu berakhir ricuh ataupun bentrok dengan aparat keamanan.
Semenjak menyebarnya berita ini, pelajar bisa dijadikan sasaran empuk oleh beberapa orang yang tidak bertanggungjawab, karena mereka sudah tahu bahwa ternyata pelajar jauh lebih mudah untuk di provokasi.
Lantas, apa yang harus dilakukan?
Orang tua dan guru adalah jembatan yang dekat dengan mereka untuk menanamkan sikap 'jangan ikut-ikutan jika tidak tahu' kepada para pelajar ini. Hal ini sangatlah penting, karena aksi unjuk rasa tidak serta-merta berisi penyampaian aspirasai, tapi terkadang ada provokator agar unjuk rasa menjadi ricuh, yang mungkin mereka belum mengetahui hal tersebut.
Pendidikan dan simulasi aksi unjuk rasa sepertinya juga perlu diberikan oleh pihak sekolahan, meskipun pelajar tetap dihimbau untuk tidak melakukan ujuk rasa karena faktor usia dan emosinya yang belum stabil. Hal ini bertujuan supaya mereka tidak salah paham, dan paham betul unjuk rasa itu seperti apa.
Pendidikan dan simulasi ini bisa digunakan untuk mengantisipasi jika nantinya mereka benar-benar terprovokasi dan sulit untuk dikendalikan. Alangkah lebih baik jika mereka memahami pendidikan aksi unjuk rasa ini daripada tidak sama sekali, karena yang ditakutkan adalah mereka tidak tahu apa-apa, dan langsung menyerang siapa saja. Hal itu pasti akan membahayakan dirimereka sendiri, maupun orang lain, terlebih aparat keamanan yang sedang bertugas.
Selain itu, pendidikan ini juga bisa mereka bawa sampai lulus dan bekerja. Ketika nantinya mereka bekerja sebagai buruh pabrik, dan terjadi demo buruh, mereka benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Jangan sampai demo yang seharusnya aman menjadi kacau karena mereka tidak tahu apa-apa.
Unjuk rasa itu tidak selalu berakhir ricuh seperti yang banyak di beritakan di media. Ujuk rasa juga bisa berjalan damai, meskipun jarang diberitakan di media. Mungkin unjuk rasa yang berjalan damai sangat sedikit sehingga media hanya menayangkan sedikit saja berita seperti itu.
Jika memang dirasa penting pendidikan dan simulasi aksi unjuk rasa ini, sepertinya peran mahasiswa juga perlu dilibatkan disini. Supaya, mereka bisa memberikan sosialisasi kepada adik-adik mereka yang masih berstatus pelajar.
Bagaimana, menurut anda apakah penting pendidikan dan simulasi aksi unjuk rasa untuk pelajar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H