Mohon tunggu...
Rahmad Romadlon
Rahmad Romadlon Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

Menulis Puisi, Artikel, Kata-kata Bijak, dan Motivasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Atun, Gadis Sukarimba

22 Januari 2025   08:00 Diperbarui: 21 Januari 2025   20:18 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dokumen Penulis

Di sebuah desa kecil bernama Sukarimba, alam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Gunung-gunung hijau mengelilingi desa, dan sebuah sungai kecil mengalir jernih membelah hamparan sawah yang luas. Setiap pagi, matahari menyapa dengan sinarnya yang lembut, membangunkan warga desa dari tidur mereka. Di desa itu, hidup seorang gadis muda bernama Atun.

Atun adalah anak tunggal dari Pak Darma, seorang petani tua yang pendiam. Setelah kematian ibunya lima tahun lalu, Atun menjadi tumpuan keluarga. Ia mengambil alih tugas-tugas rumah tangga dan membantu ayahnya di ladang. Meski hidup sederhana, Atun selalu tampak ceria. Senyumnya adalah hadiah bagi siapa saja yang bertemu dengannya. Namun, di balik semua itu, ia menyimpan luka yang mendalam---rindu yang tak pernah padam pada ibunya.

Ibunya, Bu Lastri, adalah sosok yang lembut dan penuh kasih. Ia adalah wanita yang mengajarkan Atun banyak hal: memasak, menenun, dan terutama, menghadapi hidup dengan sabar. Atun masih ingat, ibunya sering mengajaknya ke tepi sungai kecil di ujung desa. Di sana, mereka duduk di atas batu besar, menikmati semilir angin. Ibunya selalu berkata, "Sungai ini mengalir seperti hidup, Tun. Kadang jernih, kadang keruh. Tapi selama kau terus mengalir, kau akan sampai pada tujuanmu."

Setelah kepergian Bu Lastri, sungai itu menjadi tempat Atun mencari ketenangan. Setiap sore, ia akan pergi ke sana, duduk di batu besar, dan bernyanyi lagu-lagu lama yang dulu sering dinyanyikan ibunya. Bagi Atun, sungai itu adalah ruang kenangan yang tak tergantikan.

Raka Sang Pemahat

Di sisi lain desa, ada seorang pemuda bernama Raka. Ia adalah seorang perajin kayu yang berbakat. Sejak kecil, Raka sudah terbiasa membantu ayahnya di bengkel kecil mereka. Setelah ayahnya meninggal, Raka melanjutkan usaha itu sendiri. Tangannya terampil mengubah kayu menjadi karya seni yang indah. Ia membuat meja, kursi, hingga ukiran kecil yang rumit.

Namun, ada satu hal yang tidak diketahui banyak orang: Raka telah lama mengagumi Atun. Ia sering melihat gadis itu di pasar, menjual hasil kebun sambil tersenyum kepada pembeli. Bagi Raka, senyuman Atun seperti sinar matahari yang menghangatkan hatinya. Tapi ia terlalu pemalu untuk mendekati Atun. Setiap kali ingin berbicara dengannya, lidahnya terasa kelu.

Raka pun menemukan cara lain untuk mengekspresikan perasaannya. Ia mulai membuat ukiran-ukiran kecil yang terinspirasi oleh Atun. Ada bunga mawar, burung kecil, dan dedaunan yang ia bentuk dengan hati-hati. Ia ingin memberikan salah satu ukiran itu kepada Atun, tetapi ia selalu ragu. "Apakah aku pantas mendekati gadis sebaik dia?" pikirnya.

Pertemuan di Tepi Sungai

Suatu sore, Atun pergi ke sungai seperti biasa. Namun, kali ini, ia menemukan sesuatu yang berbeda. Di atas batu besar tempat ia biasa duduk, ada sebuah ukiran kayu berbentuk bunga mawar. Ukiran itu begitu halus, seolah pembuatnya menuangkan seluruh hatinya ke dalam karya itu. Di bawah ukiran itu, ada tulisan kecil: "Untuk Atun, bunga desa Sukarimba."

Atun tertegun. Siapa yang memberikan ini? Siapa yang cukup mengenalnya untuk memberikan sesuatu yang begitu indah?

Hari berikutnya, Atun membawa ukiran itu ke pasar, berharap menemukan orang yang membuatnya. Namun, tidak ada yang mengaku. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke sungai dan menunggu.

Sementara itu, Raka diliputi kegelisahan. Ia tahu Atun telah menemukan ukiran itu, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan dirinya. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk pergi ke sungai pada sore berikutnya.

Ketika Raka tiba, ia melihat Atun sudah duduk di sana. Gadis itu memegang ukiran mawar di tangannya. Hati Raka berdebar. Ia hampir berbalik pergi, tetapi Atun sudah melihatnya.

"Raka?" panggil Atun dengan suara lembut.

Raka berjalan mendekat dengan gugup. "Iya, Atun. Itu... aku yang membuatnya."

Atun tersenyum. "Ini indah sekali. Terima kasih."

Raka mengangguk, tetapi ia tetap diam. Atun, yang menyadari kegugupannya, mencoba mencairkan suasana. "Kenapa kau membuat ini untukku, Raka?"

Raka menatap sungai, menghindari tatapan Atun. "Aku... aku hanya ingin menunjukkan rasa terima kasihku. Kau selalu membuat desa ini terasa lebih hangat, Atun. Meski aku tidak banyak bicara, aku selalu melihat kebaikanmu."

Kata-kata itu membuat hati Atun tersentuh. Selama ini, ia merasa tidak ada yang benar-benar memahami dirinya. Namun, di hadapan Raka, ia merasa dilihat---bukan hanya sebagai gadis yang ceria, tetapi sebagai seseorang yang memiliki luka dan harapan.

Badai dan Harapan

Musim hujan tiba, membawa hujan deras yang tak henti-hentinya. Sungai meluap, membanjiri ladang-ladang dan rumah-rumah di desa. Atun dan ayahnya kehilangan sebagian besar hasil panen mereka. Banyak warga desa yang kehilangan tempat tinggal.

Namun, di tengah musibah itu, Raka dan Atun bekerja bersama membantu warga. Raka menggunakan keterampilannya untuk membuat perabotan baru bagi mereka yang kehilangan barang-barang. Atun membantu memasak dan merawat anak-anak yang sakit. Kebaikan mereka menyentuh hati banyak orang.

Ketika banjir surut, warga desa berkumpul di tepi sungai untuk membersihkan sisa-sisa puing. Di tengah kerja keras itu, Raka dan Atun menjadi semakin dekat. Mereka tidak hanya berbagi tugas, tetapi juga saling mendukung secara emosional.

Suatu malam, setelah semua pekerjaan selesai, Raka membawa Atun ke tepi sungai. Di tangannya, ia membawa sebuah ukiran baru---dua tangan yang saling menggenggam, dengan tulisan: "Seperti sungai ini, cinta kita akan terus mengalir, apa pun yang terjadi."

"Atun," ujar Raka dengan suara bergetar. "Aku tahu aku hanya seorang perajin kayu sederhana. Tapi aku ingin kau tahu, aku ingin berjalan bersamamu---menghadapi apa pun yang ada di depan kita."

Atun tidak bisa menahan air matanya. Ia tahu Raka adalah seseorang yang tulus, seseorang yang tidak hanya melihat dirinya tetapi juga mendukungnya.

"Aku mau, Raka. Selama kau ada di sisiku, aku percaya kita bisa melewati segalanya," jawab Atun.

Akhir yang Bahagia

Pernikahan Atun dan Raka menjadi peristiwa yang paling dinanti di desa Sukarimba. Semua orang berkumpul di tepi sungai, tempat yang menjadi saksi perjalanan cinta mereka. Di bawah langit biru, diiringi gemericik air sungai, mereka mengikat janji untuk saling mencintai dan mendukung.

Dan sungai itu terus mengalir, membawa cerita mereka ke masa depan---sebuah kisah tentang keberanian, cinta, dan harapan yang tidak pernah padam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun